Tapi Indonesia tidak punya satu pun PLTN. Padahal Uni Eropa mempunyai banyak sekali PLTN. Perancis bahkan mengekspor energi listrik dari PLTN-nya ke Jerman, Itali, Belanda, dan Inggris.
Rusia yang jadi lokasi tragedi Chernobyl masih terus membangun PLTN. Begitu juga Jepang, tempat PLTN Fukushima ambrol diterjang tsunami. Kenapa mereka tak kapok membangun PLTN? Hal ini terjadi karena mereka sadar, energi lustrik sangat penting untuk kemajuan bangsa. Dan PLTN adalah alternatif terbaik untuk menghasilkan listrik di tengah keterbatasan sumberdaya alam.
Harap catat: lokasi PLTN tak membutuhkan ruang luas. Bahan bakarnya juga berdimensi kecil. Tak butuh ruang yang besar. PLTN juga bebas polusi. Dan harganya murah persatuan energi. Lalu, kemajuan ilmu konstruksi menjadikan PLTN model baru sangat aman. Bahkan aman bila berdiri dekat pemukiman.
Memang punya PLTN bukan keharusan mutlak bagi Indonesia. Tapi filosofi sapu lidi — bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh — patut kita renungkan. Dengan filosofi sapu lidi, bagaimana pun PLTN itu perlu. Bukan haram.
Menurutku, pernyataan PLTN sebagai pilihan terakhir adalah salah. Pernyataan tersebut, ibarat sapu lidi yang tak ada pengikatnya. Mungkin pengikat itu hanya tali rafia. Tapi sapu lidi yang terikat kuat tali rafia menjadi satu kesatuan. Dan karenanya punya kekuatan. PLTN ibarat tali rafia itu.
PLTN akan memperkuat bangsa. Kuat dari sisi suplai energi listrik. Hasilnya: bangsa menjadi kuat dalam segala hal. Karena energi adalah darah. Darah kehidupan bangsa dan negara.
Sapu lidi hanya ada di Indonesia. Jadikanlah filosofinya sebagai basis ketahanan energi kita. Jangan bercerai berai, sehingga mudah patah.
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment