Lalu kenapa sejarah Nabi yang hari ini kita pelajari menyatakan Muhamad lahir di tahun gajah? Itulah “kebohongan tarikh” yang terus dipelihara. Tujuannya untuk glorifikasi tahun kelahiran Rasul. Tapi caranya dengan memalsukan fakta sejarah.
Yang lebih tragis, ujar Buya Syakur, adalah penyusunan Al Qur’an. Bayangkan, dulu Wahyu itu dicatat di pelepah kurma. Berapa banyak tumpukan pelepah kurma yang harus disusun agar menjadi Al Quran?
Apa tak mungkin ada pelepah pelepah kurma itu yang keropos sehingga catatan wahyunya hilang?
Itulah sebabnya banyak sejarawan revisionis mempertanyakan, apakah Quran yang ada sekarang sesuai dengan catatan-catatan wahyu? Banyak mushaf Quran yang ditemukan di berbagai tempat, di Yaman, Iran, Suria, dan lain-lain yang ternyata kontennya berbeda dengan Quran sekarang. Quran yang ada sekarang, yang ada di tangan kita adalah “kesepakatan ulama Al Azhar” di tahun 1900-an. Sebelumnya, teks Al-Qur’an itu berbeda-beda.
Melihat hal itu, ulama Al Azhar memodifikasinya hingga terjadilah Quran seperti yang ada sekarang. Mun’im Sirry dalam bukunya ‘Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis’ menyebutkan, tidak benar bahwa Quran disusun paripurna di zaman Khalifah Usman. Teks teks Quran kadang diubah sesuai kepentingan politik kekhalifahan. Termasuk pemahamannya.
Era paling memprihatinkan dalam penyusunan Quran terjadi saat Marwan bin Hakam berkuasa, 150-an tahun setelah Rasul wafat. Khalifah Marwan yang ekspansionis membutuhkan “pedoman” wahyu untuk meligitimasi ekspansi pasukannya ke negara negara lain, khususnya yang non-islam. Saat itulah, tulis Mun’im, tak sedikit jenderal jenderal Marwan mengubah ayat ayat Qur’an sesuai dengan ambisi Khalifah.
Comment