by

Kebakaran Hutan di Australia

Penulis: Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

KOPI, Jakarta – Australia adalah negeri yang suka mengecam kebakaran hutan di Indonesia. Kali ini, Aussie – julukan akrab Benua Selatan itu – kena tulah kecamannya. Ia terbakar. Hampir seluruh hutan di negara-negara bagian Australia terbakar.

Jangankan di Northern Territory yang “tropis” — di negara bagian yang subtropis pun seperti New South Wales dan Tasmania, hutannya terbakar juga. Kobaran api di hutannya yang luas, sudah berlangsung puluhan hari. Bahkan bulanan. Dan anehnya si jago merah tak mati-mati, hingga hari ini.

Sejak kebakaran hutan pertama kali terjadi, awal September 2019 lalu, ribuan rumah telah hangus. Lebih dari lima juta hektare hutan dan lahan pertanian musnah. Lalu, sedikitnya 28 orang tewas. Ahli ekologi dari University of Sydney memperkirakan, hampir setengah miliar mamalia, burung, dan reptil mati sejak kebakaran melanda Aussie. Diperkirakan, jumlah hewan yang jadi korban mencapai 480 juta, termasuk 8.000 koala.

Sussan Ley, menteri lingkungan hidup Australia, mengatakan kepada Australian Broadcasting Corporation, jumlah hewan yang menjadi korban belum bisa dipastikan sampai api berhasil dipadamkan. Ketika kebakaran melanda Australia, bukan hanya koala yang terancam, tetapi juga satwa liar asli Australia. Vickii Lett, sukarelawan penjaga satwa liar di New South Wales (NSW) yang telah bekerja selama 32 tahun mengatakan, api yang membakar Australia ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini kebakaran hutan terparah di Australia dalam satu abad terakhir.

“Ruang lingkup kebakaran ini adalah sesuatu yang belum pernah kami alami sebelumnya,” kata Lett, yang bekerja bersama kelompok penyelamatan satwa liar Australia, WIRES, seperti dikutip Aljazeera. Hewan-hewan yang direhabilitasi Lett termasuk koala, walabi, kanguru, dan berbagai spesies possum. Menurutnya, rehabilitasi bisa memakan waktu berbulan-bulan.

What’s wrong? Di Aussie sendiri terjadi perdebatan. Kenapa kebakaran hutan 2019-2020 demikian parah. Sampai-sampai hutan di Tasmania yang dingin ikut terbakar? Jika hutan di wilayah dingin itu terbakar, niscaya ada sesuatu yang salah.

Ada yang menyatakan, karena tanah di Australia kelembabannya berkurang. Juga karena perubahan iklim. Dan, musim kering makin panjang. Tapi, ada juga yang menyatakan tahun 2019-2020 banyak petir. Petir inilah yang memicu kebakaran hutan. Terus, ada yang menyatakan manusialah penyebabnya. Orang sembarangan melempar puntung rokok di hutan. Macam-macamlah. Tapi satu hal yang jelas: hal-hal di atas menjadikan hutan Aussie terbakar.

Lalu apa lagi? Karena global warming? Lucunya, hal terakhir inilah yang disangkal oleh Canberra. Gara-gara mitra Aussie terdekat, Amerika (Donald Trump) tak mengakui adanya global warming yang memanaskan suhu bumi. Scott Morrison dan kabinetnya, ragu-ragu menyatakan bahwa penyebab dahsyatnya kebakaran hutan itu akibat global warming.

Global warming sendiri terjadi akibat tingginya emisi gas rumah kaca atau emisi karbon dioksida di atmosfir. Sejauh ini, Australia mengikuti jejak Trump tidak mendukung program pengurangan emisi karbon di atmosfir bumi. Itulah sebabnya kabinet Morrison dibuli warga Australia karena dianggap bodoh. Rakyat menertawakn Morrison. Sampai-sampai pers Inggris bikin satir yang lucu. “Aloha Morrison!”

Aloha Morrison adalah kritikan pedas untuk PM Aussie yang akhir tahun 2020 berlibur ke Hawai. Aloha adalah sapaan khas rakyat Hawai. Padahal saat itu kebakaran hutan di Aussie sedang dahsyat-dahsyatnya. Pemimpin macam apa Morrison?

Banyak pihak yang menyatakan, dahsyatnya kebakaran hutan di Aussie karena “politik” yang tak berpihak pada isu global warming. Dan celakanya, fenomena global warming yang belakangan ini makin kuat (setelah Donald Trump jadi Presiden AS) justru melumpuhkan Aussie. Kita tahu, siapa pun PM Aussie, ia merasa “bersaudara” dengan Presiden AS.

Belum lama ini, di kantor PBB, New York, Greta Thunberg – remaja 16 tahun dari Swedia – telah mengingatkan negara-negara industri terhadap bahaya maut yang mengancam bumi akibat global warming. Dunia tak peduli masa depan kita; masa depan anak-anak kita yang belum lahir – ujar Thunberg. Thunberg melakukan aksinya dengan mogok sekolah. Aksi Thunberg kemudian viral. Anak-anak dan remaja aktivis mengikuti gerakannya. Mereka mengecam pemimpin dunia yang tak peduli dengan masa depan manusia.

Australia adalah bagian yang dikecam Thunberg. Kabinet Morrison tak peduli dengan dampak global warming yang kini membakar hutan negaranya. Baru setelah dibuli seluruh dunia, Morrison mengalah. Ia berjanji akan membicarakan kembali emisi karbon Australia yang tak ada kemajuan.

Kebakaran besar di hutan Aussie dan banjir yang menenggelamkan Jakarta – penyebabnya secara esensial sama. Global Warming. Persoalannya, bagaimana para pemimpin menyikapinya?

Rakyat Australia marah: Morrison tidak becus mengatasi dan mengantisipasi kebakaran hutan. Padahal, emisi karbon dari kebakaran hutan seluas 5 juta hektar itu diperkirakan mencapai 350 juta metrik ton. Besar sekali. Alam butuh waktu satu abad untuk menetralisirnya.

Dari peristiwa kebakaran hutan Aussie itu, masyarakat internasional hendaknya tidak perlu menyalahkan country to country dalam melihat kebakaran hutan. Betul Morrison dibuli warganya karena tidak tanggap. Tapi jika Morrison cepat tanggap, apakah mampu mencegah peningkatan suhu di Aussie yang mencapai 1,5 derajat celsius tahun lalu? Hanya kerjasama global yang mampu mengatasinya. Tak ada satu instrumen teknologi pun yang mampu memboikot angin dan cuaca untuk hanya berada di satu lokasi.

Artinya, fenomena Aussie pun bisa mengenai negara mana pun, termasuk Indonesia. Negeri yang berada di iklim tropis seperti Indonesia, justru rentan terhadap perubahan iklim akibat global warming. Kecaman Eropa terhadap kerusakan hutan Indonesia dengan fokus “kebun sawit” sehingga mereka memboikot CPO (crude plam oil) jelas kurang tepat. Karena kerusakan hutan Indonesia, teruatama akibat kebakaran hutan, penyebabnya bukan hanya sawit. Tapi kompleks. Termasuk global warming yang dipicu keserakahan negara-negara maju sendiri. Mereka tidak serius mengikuti kesepakatan pengurangan emisi karbon berdasarkan Paris Agreement, Bali Agreement, dan lain-lain.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA