by

Jakarta: Air Bah dan Perda Merana

KOPI, Jakarta – Jakarta tenggelam! Awal tahun baru 2020, hujan yang mengguyur Jakarta, praktis melumpuhkan ibu kota Jakarta yang malamnya penuh gemerlap. Jakarta nyaris tenggelam dilabrak air bah, baik yang berasal dari hujan maupun limpasan dari “Kota Hujan”.

Sampai Kamis pagi, korban tewas di Jabodetabek tercatat 10 orang. Ada kemungkinan korban tewas bertambah karena sampai Kamis pagi, di beberapa wilayah Jabodetabek – seperti Jatiasih, Kemang Pratama, Ciledug, Rawa Buaya, Kampung Melayu, Cipinang, dan wilayah-wilayah yang dekat bantara Ciliwung – masih tergenang air cukup dalam. Bahkan ketinggian air ada yang sampai dua meter. Sampai Kamis pagi, beberapa wilayah di Bekasi, seperti di Tambun dan Kranji, belumsurut. Malah semakin besar karena imbas hujan lebat di Depok dan Bogor.

Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Dwikorita Karnawati, banjir awal tahun 2020 belum sampai puncak musim hujan. Adapun puncaknya di bulan Februari. Jika banjir awal Januari ini saja sudah nyaris “menenggelamkan” Jakarta – apa yang akan terjadi pada Februari mendatang?

Geomorfologi Jakarta

Melihat geomorfologi Jakarta — sebuah kota pesisir di dataran rendah yang menjadi muara 13 sungai yang mengalir dari sebuah pegunungan di daerah yang curah huhjannya tingi – maka limpahan air adalah niscaya. Jadi, sepantasnyalah, Jakarta adalah kota air.

Enam abad lalu ketika Pangeran Jayakarta memilih Jakarta sebagai pusat kerajaan, beliau sudah tahu konsekuensinya. Pastilah Jakarta akan selalu kedatangan air. Maka, Pangeran Jayakarta pun sengaja memelihara rawa, situ, mangrove, dan vegetasi air payau untuk ”menghiasi” Jakarta. Banyaknya sungai, rawa, dan danau membuat orang Portugis, Belanda, dan Inggris yang saat itu menguasai dunia, tertarik dengan Jakarta. Terutama karena limpahan air yang banyak dan pemandangan rawa-rawanya yang menghampar indah di berbagai pelosok. Keindahan pemandangan air Batavia mirip kota air Venesia di Itali, tempat wisata favorit orang-orang Eropa Barat.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Batavia, dia sebetulnya tak berminat menjadikan Batavia sebagai ibu kota ‘Hindia Belanda’. Pieter lebih suka menjadikan Batavia sebagai kota wisata. Saat itu, orang-orang Belanda menjuluki Batavia sebagai ”Venesia van Java”.

Tapi dalam perkembangannya, Jakarta akhirnya ditetapkan jadi ibu kota. Dan sebagai ibu kota, Jakarta terus mengalami perkembangan baik dalam jumlah penduduk, perumahan, perkantoran, industri, perdagangan, dan lain-lain. Sedikit demi sedikit ”Venesia di Java” itu berubah menjadi ”Kota Beton di Jawa”. Rawa Mangun, Rawa Bokor, Rawa Jati, Rawa Buaya, Rawa Sari, dan rawa-rawa lain yang jumlahnya ratusan — kini telah berubah menjadi hamparan beton — bukan hamparan air lagi.

Di atas rawa-rawa tersebut, kini telah berdiri hotel, perkantoran, pusat perdagangan, perumahan, dan lain-lain. Maka jadilah kota yang dulu terkenal sebagai kota air, sekarang terkenal sebagai kota beton. Bahkan, penguasa dan pengusaha sekarang, kalau melihat rawa di Jakarta pikirannya ”gemes”— ingin segera menguruknya dan membangun pusat perkantoran terpadu, apartemen, perkantoran dan lain-lain.

Apa yang terjadi kemudian? Air tetaplah air. Ia punya hukumnya sendiri. Ia mengalir sampai jauh, kata Gesang dalam lagu Bengawan Solo. Air yang seharusnya mengalir sampai jauh ini, kini tertahan ”beton-beton raksasa”.

Akibatnya, perjalanan air pun terhadang. Dan sesaui sifatnya yang lentur, air mencari jalannya sendiri, sesuai karakternya. Dan itulah banjir. Jika kemudian banjir itu menenggelamkan jalan, rumah, kantor, dan lain-lain— itulah hukum alam yang mau tidak mau harus terjadi. Persoalannya adalah: mampukah kita menjinakkan air?

Sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi, manusia seharusnya bisa menjinakkan air yang tumpah dari langit dalam skala gigantis ini. Caranya: ikuti hukum alam dari air. Jika kita melihat geomorfologi Jakarta, maka jangan menjadikan tempat yang rendah untuk perumahan atau perkantoran. Kenapa Kampung Melayu, Cililitan Kecil, Kampung Pulo, dan Rawa Buaya tiap tahun selalu tenggelam? Karena wilayah tersebut berada di dataran rendah.

Dataran rendah seperti itu seharusnya menjadi penampungan air. Karena itu, penduduk di Kampung Pulo, Cililitan Kecil, Ciledug yang tiap musim hujan rumahnya tenggelam, midsalnya, harus direlokasi. Kedua wilayah tersebut mestinya, secara geomorfologis, dijadikan situ atau rawa untuk menyelamatkan penduduk.

Itu baru satu sisi. Sisi lainnya, seperti dinyatakan Gubernur Anies Baswedan, untuk mengatasi banjir, masukkan air ke dalam tanah sebanyak mungkin! Itu benar, jika Pemda Jakarta mau membuat sumur resapan sebanyak mungkin. Sumur resapan ini, garis tengahnya minimal satu meter dengan kedalaman 7 meter. Jika ada “sejuta sumur resapan” semacam itu, niscaya volume air tumpahan dari langit akan terserap secara signifikan.

Pemda DKI sebetulnya sudah punya Perda tentang sumur resapan. Pada Perda Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 7 Tahun 2010 tuntang Bangunan Gedung disebutkan: Sumur resapan air hujan adalah sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan akibat dari adanya penutupan permukaan oleh bangunan gedung dan prasarananya yang disalurkan melalui atap, pipa talang maupun saluran dapat berbentuk sumur, kolam dengan resapan, saluran porous dan sejenisnya (Bab I Pasa 1, Poin 39).

Sementara pada Pasal 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa ”Penyelenggaraan bangunan gedung harus dilaksanakan berdasarkan azas kemanfaatan, keselamatan, kenyamanan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.”

Dari narasi Perda di atas, jelas sekali adanya keharusan untuk membangun penampungan air hujan sesuai dengan tutupan areal gedung tersebut. Tak hanya itu, Perda tersebut mengatur juga aspek keseimbangan dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungan sekitarnya.

Tafsir dari perda di atas, logikanya luas sekali dan indah untuk diterapkan dalam mengatasi banjir. Persoalannya, apakah perda itu dilaksanakan atau dilanggar — Itulah yang jadi keprihatinan kita semua. Perda-perda itu merana. Dibuat tapi dilupakan. Alih-alih menambah sisi plus Perda tersebut – seperti memperluas tanah terbuka yang menambah permukaan resapan air; yang terjadi malah menutup tanah-tanah terbuka dengan konblok dan semen. Dampaknya: banjir pun semakin parah.

Terakhir, catat: banjir tak bisa diatasi dengan wacana. Banjir hanya bisa diatasi dengan usaha dan kerja. Kerja keras tanpa lelah, tanpa memotong dana!

Penulis: Dr. Ir. Nyoto Santoso, Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan/Dosen Fakultas Kehutanan IPB

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA