AJI adalah organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers. Berdirinya AJI pada 7 Agustus 1994 dipicu oleh pembreidelan tiga media – Tempo, DeTik, Editor—oleh rezim Soeharto pada Juni 1994.
Aktivitas saya (bersama rekan wartawan Dhia Prekasha Yoedha) dianggap mengancam keberlangsungan hidup Kompas. Dalam pertemuan enam mata, antara saya, Yoedha dan pemimpin Kompas Bpk. Jakob Oetama, disepakati agar saya dan Yoedha mundur baik-baik dari Kompas demi mengamankan kelangsungan hidup lembaga Kompas.
Dalam konteks tekanan politik Orde Baru waktu itu, jika Kompas tidak “menghukum” saya dan Yoedha, institusi Kompas akan dituduh “ikut memberi dukungan” pada saya dan Yoedha. Aksi-aksi demo anti-pembreidelan, keikutsertaan kami di SBSI dan AJI, semua itu dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Ancamannya jelas: pembreidelan, yang berarti hilangnya lapangan kerja bagi sekitar 2.000 karyawan Kompas. Saya dan Yoedha paham situasi itu dan tidak ingin membebani Kompas.
Setelah mundur dari Kompas, berbekal uang pesangon yang cukup, saya bisa aktif penuh di AJI. Saya kemudian bekerja di Majalah D&R, harian Media Indonesia (2000-2001), dan akhirnya di Trans TV (2002-2012). Saya fokus dan sibuk dalam kerja profesional sebagai jurnalis. Dalam periode panjang itu, saya bisa dibilang “putus kontak” dengan Denny JA.
Namun, saya secara tak langsung terus mengikuti perjalanan karir Denny yang membangun reputasi sebagai konsultan politik dan perintis bisnis survei politik di Indonesia. Denny sukses memenangkan banyak kandidat gubernur, walikota, dan bupati dalam berbagai pilkada di Indonesia. Denny bahkan sukses memenangkan empat kandidat dalam pilpres secara berturut-turut.
Comment