
KOPI, Jakarta – Kendati Anggaran Belanja Transfer Pemerintah Pusat ke daerah atau yang sering disebut Transfer ke Daerah dan dana Desa (TKDD) setiap tahun meningkat, ternyata tidak secara otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Di Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan adanya anomali. Dana transfer ke daerah tersebut malah sebagian mengalir ke pusat, dalam bentuk berbeda, selain adanya gangguan lain dalam efektivitas penggunaannya.
Hal ini terungkap dalam Seminar
bertajuk ‘Refleksi Ekonomi Akhir Tahun dan Outlook 2020’, yang digelar di ruang Auditorium lantai 2, kampus Universitas Trilogi, Kalibata,
Jakarta Selatan, Jum’at (20/12/2019), bersama 3 (tiga) pembicara lainnya. Acara dipandu moderator Dr. M. Rizal Taufikurahman (dosen Universitas
Trilogi).
Dr. Ir. Mangasi Panjaitan, ME, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Trilogi yang juga Rektor Universitas Mpu Tantular periode 2017-2019, dalam paparannya sebagai salah satu pembicara dalam seminar mengatakan, besarnya anggaran transfer ke daerah itu, tidak otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kendati TKDD setiap tahun meningkat, setidaknya dalam lima tahun terakhir, tidak terlihat pengaruh signifikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di daerah. Justru terjadi anomali dalam desentralisasi fiskal itu sendiri,” ungkapnya.
Menurut Mangasi Panjaitan, desentralisasi
Fiskal di Era pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran belanja transfer Pemerintah
Pusat ke daerah setiap tahun meningkat. Pada tahun 2014 saja, TKDD sebesar Rp.573,7
Triliun, naik menjadi Rp. 832,3 Triliun tahun 2019, atau meningkat sebesar 45,1% selama lima tahun. Dan untuk
pertama kalinya, tahun 2016, TKDD lebih besar (Rp.776,3T) dari belanja Kementerian
dan Lembaga (Rp.767,8T).
Memang harus diakui, lanjutnya, peningkatan Dana Transfer yang relatif besar setiap tahun, telah meningkatkan kinerja pelayanan publik, yang tercermin pada membaiknya indikator pelayanan publik antara lain: (a) Indeks Kesenjangan antar daerah membaik dari tahun 2014-2019 yaitu dari 0,759 menjadi 0,668, (b) akses rumah tangga terhadap sanitasi dari 61,1% menjadi 67,9%, dan (c) jumlah persalinan yang ditangani naik dari 87,1% menjadi 93,3%, (d) desa tertinggal berkurang sebanyak 6.518 desa, melebihi target 5.000 desa pada RPJMN 2015-2019, (e) pembangunan infrastruktur desa naik dari 39,21% tahun 2014 menjadi 44,63%.
Namun selain sisi positip, catatan negatipnya justru menonjol dan mempengaruhi efektifitas anggaran itu sendiri, antara lain: Penempatan Dana Daerah di Bank Indonesia (BI). Berdasarkan data BI, pada Desember 2015 dana pemda di BI mencapai sebesar Rp. 99,7 triliun atau Rp. 100 triliun. Angka itu berarti 0,9 persen dari PDB, atau rata-rata Rp. 3 triliun per provinsi. Sementara korupsi kepala daerah dan korupsi berjamaah diberbagai daerah, sering melibatkan eksekutif dan legislatif.
Dikatakan Doktor lulusan IPB ini, korupsi dan anomali arus dana daerah ke pusat, diduga kuat menjadi variabel pengganggu, sehingga TKDD tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemerintah yang bersih dan tegas melawan korupsi adalah syarat keharusan untuk meningkatkan efektifitas Dana Transfer di waktu yang akan datang.
Sementara itu, untuk refleksi Desentralisasi Fiskal 2020, Pemerintah berencana meningkatkan TKDD tahun 2020 menjadi Rp.856,94 Triliun, yang terdiri dari Rp.784,74 T untuk Dana Transfer dan Rp.72 T untuk Dana Desa. Sedangkan untuk mengelola dana yang lebih besar itu, dibutuhkan kapasitas SDM yang lebih baik.
Sebab itu, Alumni PPSA Angkatan XXII Lemhannas R.I ini menyimpulkan, belajar dari pengalaman era sebelumnya, beberapa hal penting yang harus dibenahi adalah; Pengaturan Besaran Dana Perimbangan, Desain Transfer, SDM dan Pengawasan. Hasil Riset Empiris Bank Dunia (2001) menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pada Dana Transfer berbanding terbalik dengan governansinya. Artinya pemerintah daerah lebih hati-hati menggunakan PAD daripada dana transfer dari pusat.
Sedangkan solusi untuk meningkatkan kehati-hatian, ke depan agar porsi PAD besarannya lebih ditingkatkan melebihi dana transfer. Dana Perimbangan dibuat sedemikian rupa agar kontribusi PAD lebih besar daripada Dana Transfer terhadap APBD. Karena hingga kini, ketergantungan APBD terhadap TKDD adalah 80,1% sedangkan kontribusi PAD hanya 12,87%.
Sementara itu, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D, Rektor Universitas Trilogi, sebagai pembicara pertama memaparkan secara makro tentang adanya ‘Unbalanced Growth in Indonesia,’ dalam pertumbuhan ekonomi.
Menurut Guru Besar ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) ini, kondisi tersebut merujuk kepada masih adanya ketidakseimbangan pertumbuhan (unbalanced growth) di berbagai wilayah dan kalangan di Indonesia, sehingga menciptakan perlambatan terhadap stimulus pertumbuhan ekonomi.
Dikatakan Rektor yang baru menjabat Nopember 2019 lalu ini, salah satu indikatornya adalah, ketika income per kapita masyarakat meningkat, tidak serta merta kesenjangan pendapatan itu dinikmati secara merata oleh masyarakat.
“Ketika income per capita masyarakat
meningkat, kesenjangan pendapatan masyarakat justru makin tinggi. Berarti
kenaikan income per capita itu hanya dinikmati oleh kalangan atau wilayah
tertentu saja,” paparnya.
Sebab itu menurut Guru Besar yang dikukuhkan di usia 39 tahun ini, untuk medorong pertumbuhan ekonomi, Pemerintah perlu membuat Grand Design Strategi Pembangunan Inklusif untuk mengatasi ‘Unbalance Growth’ dengan menetapkan beberapa langkah berupa: Kebijakan Penciptaan iklim investasi yang probisnis; Kebijakan Anggaran Daerah; Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM; dan Pengembangan wilayah, daerah, desa.
Sementara pembicara lainnya adalah, Dr. Ir. Benny Pasaribu, M.Ec (mantan Ketua KPPU). Benny Pasaribu mengatakan, mestinya pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi hingga 7 (tujuh) persen, tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain: deindustrialisasi harus berbasis bahan baku lokal; dan perlunya prasyarat utama sebagai langkah kebijakan transformasi struktural.
Sedangkan Ir. H. Erman Soeparno, MBA., M.Si (mantan Menteri Tenaga Kerja) mengatakan, berkaitan dengan ketenagakerjaan, bonus demografi sesungguhnya bisa jadi benar-benar bonus, atau justru musibah. Sebab itu, stok pengangguran sekitar 7 (tujuh) juta di Indonesia, mestinya bisa mengambil kesempatan.
Seminar dihadiri Subiakto Tjakrawerdaja, Menteri Koperasi Indonesia pada tahun 1993 hingga tahun 1998 pada Kabinet Pembangunan VI dan Kabinet Pembangunan VII, yang juga sebagai Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ), Prof. Dr. Haryono Soeyono, mantan Kepala BKKBN, Prof. Laode Kamaluddin (mantan anggota DPR/MPR RI), Dr. Kabul. Ada sekitar 400-an lebih peserta yang terdiri dari: para mahasiswa Universitas Trilogi dan dari Universitas lainnya, serta para dosen PTS di wilayah LL Dikti III Jakarta. DANTAS
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment