by

Violent Extremism dan Manipulator Agama

Loading…

KOPI, Bekasi – Masjid An-Noor bersimbah darah Jumat (15/3/2019) beberapa waktu lalu. Masjid cantik di kota Christchurch, Selandia Baru (New Zealand, NZ) itu, jadi ladang pembantaian manusia; 49 muslim yang tengah salat Jumat tewas dan 48 lainnya luka parah.

Pelakunya, gerombolan teroris penganut paham radikal fasis nasionalis kulit putih. Mereka anti imigran dan kulit berwarna. Idola kaum nasionalis fasis ini adalah Donald Trump, presiden AS pasca Barack Obama dan Oswald Mosley, politisi Inggris.

Kita tahu, melalui twitter-nya Trump sering menulis pernyataan-pernyataan nasionalis fasis yang men-downgrade etnis lain. Pembuatan tembok sepanjang perbatasan Amerika -Meksiko adalah wujud sikap Trump yang anti-imigran.

Sementara itu, Mosley adalah pemimpin British Union of Fascists (BUF), atau Uni Fasis Inggris (faksi dalam Partai Konservatif) pada 1930-an. Slogan yang diangkat Mosley saat itu, Britain for the British. Jangan cemari imperium Inggris dengan polusi sosial dan etnis non-British.

Nasionalisme radikal fasis inilah yang diusung para pembantai muslim di masjid An-Noor Christchurch. Bagi mereka, New Zealand adalah negara kulit putih. Tak boleh tercemar imigran. Salah satu imigran yang tumbuh besar di NZ adalah kaum muslimin. Itulah sebabnya para teroris memberondongkan peluru senjata mesin ke arah orang-orang Islam yang sedang salat Jumat. Bagi mereka, umat Islam adalah imigran yang mencemari nasionalisme kulit putih.

Nasionalisme Fasisme adalah ideologi radikal yang telah mengobarkan perang dunia. Tokoh utamanya adalah Hitler dan Mussolini. Lalu diikuti Jepang yang mengaku sebagai “satu-satunya saudara tua” di Asia. Tiga negara ini bersekutu dalam Perang Dunia II yang telah menewaskan jutaan orang di seluruh planet bumi. Perang Dunia II baru berakhir setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945.

Salah seorang pembantai berdarah di masjid An-Noor adalah Brenton Tarrant. Ia warga Australia yang tinggal di New South Wales bagian utara. Tarrant pernah bekerja sebagai instruktur fitnes Big River Gym tahun 2009 sampai dengan 2011.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison mengutuk tindakan gerombolan pengikut nasionalis fasis iu. Bahkan Scott sampai menyebut si penembak adalah teroris dan ekstrimis yang kejam.

Brenton merekam aksi terornya dengan menggunakan kamera GoPro. Sebelum aksi brutal itu, dia telah mengunggah foto senapan mesinnya di twitter dan menyatakan manifesto yang menggambarkan profil dirinya di media online. Ia mengaku dirinya orang kulit putih yang mengagumi Trump dan Mosley. Brenton juga mengakui diringa pengikut paham nasionalis fasis.

Tragedi pembantaian muslim di Christchurch menyadarkan kita bahwa radikalisme tumbuh di mana saja. Jika di Indonesia, radikalisme tumbuh di kalangan Islam yang terpengaruh – pinjam istilah almarhum KH Hasyim Muzadi – paham transnasionalisme agama (seperti HTI dan ISIS); di sejumlah negara Barat, radikalisme tumbuh di kalangan pengikut paham nasionalisme fasisme.

Di Amerika Serikat, misalnya, pengikut kaum etnis fasis Ku Klux Klan sampai sekarang terus menanamkan dan menyebarkan kebencian terhadap orang kulit hitam. Sementara di Jerman, kelompok Neo-Nazi makin mendapat simpati kaum nasionalis fasis yang merasa tergeser dari bursa tenaga kerja oleh kaum imigran. Di Perancis, Marine Le Pen – pemimpin nasionalis fasis – makin mendapat dukungan rakyat. Politisi wanita Le Pen yakin jejak politiknya di Perancis akan mengalami kemajuan setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS.

Di Belanda, Geert Wilders yang anti-muslim, makin mendapat dukungan rakyat. Pembuat film kartun Nabi Muhamad tersebut kini pengaruh politiknya makin besar di Belanda. Terbukti partai yang dipimpinnya, PVV (Party for Freedom) memperoleh kursi terbesar kedua di Belanda pada Pemilu 2017.

Melalui gambaran di atas, kita bisa melihat bahwa radikalisme tidak hanya tumbuh di kalangan Islam. Tapi juga di kalangan pengikut ideologi fasis. Fasisme dan nasionalisme ekstrim tidak kalah bahayanya ketimbang radikalisme agama. Tragedi Tarrant di NZ menunjukkan kepada publik dunia bahwa radikalisme dan fasisme amat berbahaya bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.

Pada tragedi Christchurch ada kesamaan perilaku aksi teror yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai agama dan ideologi. Mereka melakukan aksi terornya karena fanatisme dan ekstrimisme yang eksesif.

Di negara-negara Barat, kata radikalisme dan terorisme kini lebih “dinetralkan” dengan istilah baru: violent extremism (VE). Dengan mengunakan terminologi VE, analisis sebuah peristiwa terorisme lebih mendalam jangkauannya dan semua pakar violent (sosiologi dan psikologi) dapat leluasa menganalisis “terorisme” secara ilmiah. Tidak terbebani isu agama dan ideologi tertentu. Karena istilah VE lebih netral dan komprehensif.

Dengan pendekatan VE, pengalihan isu radikalisme menjadi manipulator agama seperti digagas Presiden Jokowi, tampaknya perlu dikaji kembali. Sebab manipulator agama tidak hanya “menghasilkan” teroris, tapi juga dukun, politisi, dan okultis.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA