KOPI, Bekasi – Bagaimana pandangan Kyai Ma’ruf terhadap poligami? Apakah kyai berniat poligami?
Tidak. Tidak. Saya tidak akan melakukan poligami, ujar Kyai Ma’ruf ketika mendapat tawaran poligami dari temannya.
Kenapa kyai tak mau poligami? — lanjut sang teman.
Poligami oleh Nabi Muhamad dilakukan ketika istri pertamanya sudah meninggal – jawab kyai.
Lagi pula poligami Rasulullah bukan dilandasi nafsu. Melainkan bentuk kepedulian kepada para janda yang suaminya mati syahid di medan perang membela Islam – lanjut ulama yang politisi itu. Jadi poligami Rasul dalam rangka menguatkan iman para janda yang nestapa karena ditinggal pergi sang suami untuk selamanya, tambah Kyai Ma’ruf.
Sang teman manggut-manggut memahami pikiran kyai yang amat setia kepada istrinya. Ia pun makin mengagumi kyai karena konsistensi perilaku hidupnya. Ia suami yang sangat menyintai istrinya. Karena itu, ia tak mau menyakiti istrinya. Poligami, bagaimana pun alasannya, niscaya akan menyakiti istri pertamanya.
Kyai Ma’ruf adalah ayah idola anak-anaknya. Ia sangat menyayangi anak-anak dan amat menyintai istrinya, Siti Huriyah.
Ma’ruf dan Siti Huriyah – keduanya anak ulama di Banten — menikah tahun 1964. Keduanya masih terhitung saudara. Nenek dari Huriyah adalah kakak kandung Kyai Amin, ayahanda Ma’ruf. Dengan demikian, Ma’ruf dan Huriah dalam keluarga besar adalah paman dan keponakan. Pernikahan “antarsepupu” ini biasa dilakukan di dunia pesantren.
Pernikahan model inilah yang kemudian membentuk – pinjam istilah Azyumardi Azra — jaringan keulamaan di Indonesia. Itulah sebabnya, Kyai Bisri Sansuri – bila ceramah di Cirebon – mengajak umat Islam untuk tawasul kepada para ulama. Jika seseorang bertawasul kepada ulama, ujar Kyai Bisri, insya Allah nanti diakhirat akan satu barisan bergandeng tangan dengan para ulama dan masayikh menuju surga.
Seperti cintanya Sunan Gunung Jati Cirebon kepada Putri Oeng Tien, leluhur kyai – kira-kira begitulah mendalamnya cinta Ma’ruf kepada Huriyah. Segala hal – mulai yang besar sampai yang kecil – dibicarakan dengan istri tercintanya. Keduanya membesarkan tujuh anak dengan penuh kasih sayang.
Sebenarnya pasangan Ma’ruf-Huriyah mempunyai sembilan anak. Tapi, anak pertama keguguran. Sedangkan anak ketiga, Siti Nahija pergi mendahului kakak dan adik-adiknya saat berusia 16 tahun karena penyakit jantung. Tujuh anak pasangan Ma’ruf dan Huriyah itu (Siti Ma’rifah, Siti Mamduhah, Siti Nur Azizah, Ahmad Syauqi, Ahmad Muayyad, Siti Hannah, Siti Haniatunnisa) – semua berpendidikan tinggi dan punya profesi yang bermacam-amacam, mulai dokter, dosen sampai ahli hukum. Kini, berkat bimbingan dan doa kedua orang tuanya, mereka menjadi orang-orang saleh dan memberikan cucu yang lucu dan nggemesi kepada Ma’ruf dan Huriyah.
Sayang, kebahagiaan Kyai Ma’ruf dan Siti Huriyah berakhir Oktober 2013. Pada tanggal 21 Oktober, Siti Huriyah wafat di Jakarta. Jasadnya dimakamkan di kompleks Ponpes Al-Nawawi di Tenara, Pandeglang, Banten. Kepergian Siti Huriyah meninggalkan duka mendalam kepada Kyai. Betapa tidak, selama 49 tahun, Ma’ruf dan Huriyah membina rumah tangga dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mereka pun membesarkan anak-anaknya dengan rasa cinta dan sayang seperti halnya Rasulullah membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Itulah sebabnya, kepergian istrinya, meningglkan kenangan indah yang tak terlupakan. Romantisme cinta Kyai Ma’ruf kepada istrinya, diungkapkan dalam bentuk haul – yaitu peringatan hari kematian seseorang yang dihormati dan dicintai, baik oleh ulama dan umat di dunia pesantren. Khas tradisi NU.
Kyai Ma’ruf selalu mengadakan haul peringatan kematian Siti Huriyah di bulan Oktober tiap tahun di Ponpes Al-Nawawi, Tenara yang didirikannya. Karena di situlah Siti Huriyah yang meninggal 21 Oktober 2013, dalam usia 67 tahun, dimakamkan. Romantis bukan?
Kyai Ma’ruf dan Nyai Huriyah adalah ayah dan ibu idola di mata anak-anaknya. Keduanya saling menyintai, serasi, sejalan, dan saling mengisi. Keduanya anak kyai dan mempunyai jamaah pengajian. Jika jamaah kyai Ma’ruf berada di mana-mana, baik di desa maupun di kota, jamaah pengajian Nyai Huriyah berada di sekitar rumahnya. Nyai Huriyah mengelola majlis taklim sambil mengasuh anak-anaknya.
Setelah sang istri meninggal, Kyai Ma’ruf hidup sendiri. Ia tak berpikir akan menikah lagi. Ia tak bisa melupakan cinta dan kasih dari sang istri. Setelah istrinya tiada, ke mana-mana kyai ditemani anak bungsunya, Siti Haniatunnisa. Tapi yang namanya anak, ia tentu tidak bisa fokus mengurus abahnya. Sang anak punya urusan dan kesibukan sendiri. Saat di rumah, misalnya, kyai tak mungkin ditemani sang anak terus-menerus. Beda dengan istri yang dengan setia menemani kyai 24 jam.
Kyai Ma’ruf sering terlihat sendirian di rumah. Tak ada orang yang bisa diajak berbagi cerita dan pengalaman. Padahal teman bicara itu penting untuk rileksasi pikiran dan perasaan. Anak-anaknya merasa kasihan melihat kondisi abahnya. Melihat hal itu, anak-anaknya mengatakan kepada abahnya, sebaiknya menikah lagi agar selalu ada orang yang mendampinginya. Teman-teman kyai juga menyatakan hal yang sama. Akhirnya kyai pun diperkenalkan dengan seorang janda beranak dua, seorang tenaga kesehatan (perawat gigi) di sebuah Puskesmas di Jakarta. Namanya indah dan wajahnya cantik, Wuri Estu Handayani.
Dari perkenalan itu, gayung bersambut. Cinta pun berpaut. Keduanya kemudian menikah di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta, dengan dua saksi istimewa di masa kampanye Pilpres tahun 2014. Siapa dua saksi istimewa itu? Jusuf Kalla, cawapres Jokowi dan Hatta Rajasa, cawapres Prabowo Subianto.
Kalau ingat masa itu, mungkin Kyai Ma’ruf senyum sendiri. Lo, kini Prabowo berada dalam gerbong Kabinet Jokowi-Ma’ruf! Tentu saja, karena pernah menjadi saksi istimewa, hati kyai pun mudah menerima kehadiran Prabowo di pemerintahannya.
Politik memang beda dengan cinta. Pinjam Lord Acton, jika politik adalah the art of possibility, maka cinta adalah the art of loyalty. Cinta memang butuh kesetiaan. Seperti perjalanan cinta Kyai Ma’ruf. Setia dengan satu istri. No Poligamy!
Comment