by

Catatan Simon Syaefudin: Reformasi Konsep Ketuhanan

Loading…

KOPI, Bekasi – Sebetulnya alasan menjadi atheis dan theis sama kuat. Logikanya sama kuat. Bukti-bukti ilmiah sementara ini lebih kuat atheis. Embahnya ilmuan, Einstein dan Hawking berbeda. Enistein theis. Hawking atheis.

Tapi theisnya Einstein beda dengan kita. Tuhan itu sistem. Hawking atheis tapi percaya hukum alam. Bayangkan, hanya dengan teori matematika Hawking menemukan lubang hitam. Jauh sebelum astronom mendeteksinya. Einstein dengan matematika menemukan gelombang gravitasi, jauh sebelum fisikawan membuktikannya.

Saya kira pada tahapan ini harus ada revolusi tentang apa itu Tuhan? Umat Islam terpaku dengan konsep Tuhannya AlMaturidi, wujud qidam, bako, dan seterusnya. Itu jadul sekali. Umat Kristen terpaku pada penampakan Yesus di hari ketiga setelah kematiannya. Itu pun jadul.

Cobalah merenungi Tuhan dalam konsep Budhisme. Menarik. Orang Budha tak pernah mempersoalkan Tuhan. Banyak ilmuwan di Barat tertarik dengan konsep Tuhan Budhism karena lebih relevan dengan sains.

Neale Donald Walsch punya pendapat berbeda. Hakikatnya tak ada manusia yang atheis. Semuaya theis. Itu masalah transformasi keyakinan saja. Lagi pula Tuhan juga tak menghendaki simbol-simbol dan kepatuhan buta.

Sebut saja, saya mau nenanam pohon demi kesalamatan bumi. Menurut Walsch, itu sama saja dengan orang mengucapkan basmalah atau Demi Bapa di Sorga saya akan menghijaukan bumi untuk masa depan manusia.

Tuhan zaman sekarang lebih fleksibel dalam nama. Sebut nama apa pun asal missionnya untuk keselamatan alam dan manusia, itulah Tuhan. Hukum alam yang dipercayai Hawking sebagai kekuatan terbesar, itu pun Tuhan. Hawking sebetulnya tak perlu menyebutkan dirinya atheis. Dia tetap theis.

Saya jadi ingat Syaikh Jalaludin Rumi. Katanya: Sebelum engkau melihat Tuhan dalam mata manusia, kau hakikatnya belum mengenal Tuhan. Gimana?

Kaukah Tuhan itu. Apakah Kau dan Aku adalah Tuhan? Tuhan ada dalam diri kita. Hanya Budha yang tegas menyatakan itu.

Quran menyatakan, Tuhan lebih dekat dari urat lehermu. Urat leher itu bisa diartikan nafas atau aliran darah. Saking menyatunya. Mungkin itulah sebabnya Karen Armstrong, penulis buku Masa Depan Tuhan, menyatakan konsep keberadaan Tuhan harus direformasi. Nah lo.

Jangan melihat Tuhan seperti kita melihat gunung atau raja diraja. Wujud Tuhan itu super imajinatif. Apa yang kita bayangkan tentang Tuhan itulah yang bukan Tuhan. Dengan demikian Tuhan itu harusnya tak bernama. Atau sebaliknya, mempunyai nama tak terhingga. Bukan sekedar 99 atau 100. (*)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA