Mendengar Kahlil Gibran berkisah Soal Cinta
KOPI, Jakarta – Lempeng tembaga bertanya pada sebuah piala. “Apa yang sudah kau alami, wahai Piala? Bukankah dirimu juga berasal dari lempeng tembaga. Tapi lihatlah. Betapa kini kau berbeda. Alangkah indah bentukmu kini. Bahkan kau menjadi tanda sebuah kemenangan?”
Piala menjawab. “Wahai lempeng tembaga. Aku memang dulu sepertimu. Kini aku masih lempeng tembaga, hanya berubah bentuk.
Tapi, beruntungkah aku? Yang kau lihat diriku masa kini. Tapi tahukah dirimu apa yang kualami? Dari lempeng tembaga, aku dipukul-pukul oleh si tukang martil. Kadang aku dipaksa menjadi lonjong, menjadi bulat. Ia tak peduli betapa kaku asalku.
Tahukah dirimu? Panasnya api kadang dipaksakan si tukang las. Aku disambungkan ke sana dan ke sini untuk dibentuk. Tak hanya sekali atau dua kali api panas menghanguskan aku.
Pagi hingga malam betapa rasa sakit itu datang tak henti. Diriku digosok-gosok oleh si tukang amplas. Kadang tepat di lukaku karena panasnya api, digosok-gosok aku pula agar halus.
Tak terhitung air mata menetes. Tak terhitung siang dan malam kutahan rasa perih. Lalu pada suatu waktu. Abakadabra. Aku pun berubah menjadi piala.
Kau katakan aku beruntung karena yang kau lihat hasil akhir. Jika saja kau saksikan perjalanan hidupku ketika aku dibentuk, bisa kubayangkan. Mungkin kau pun tak tega. Lalu dirimu bersyukur kau tidak seperti aku: dipukul, dibakar api, diamplas.”
-000-
Percakapan piala dan lempeng tembaga di atas saya visualkan setelah merenungkan kembali Kahlil Gibran. Dalam buku Sang Nabi, penduduk bertanya pada Guru mengenai aneka masalah hidup.
Sang guru, sebagaimana para Nabi sepanjang sejarah, sebagaimana mereka yang sudah di pucuk pencerahan, membagi pengalaman.
Menjadi manusia dengan kualitas tinggi itu seperti lempeng tembaga menjadi piala. Itu hanya mungkin melalui perjalanan panjang yang sudah dilezatkan oleh banyak penderitaan.
Dalam lagu “Blowing in The Wind,” yang sering dinyanyikan oleh Bob Dyland, hal yang sama dinyatakan. How many roads must a man walk down? Before you call him a man? Betapa panjang naik dan turun jalan hidup perlu dilalui agar dapat menjadi manusia yang sebenarnya?
“Bicaralah pada kami tentang cinta,” tanya seorang murid pada Sang Guru dalam buku Sang Nabi itu. Tulis Kahlil Gibran: “Jika cinta datang padamu, menyerahlah. Walau pedang di balik sayap cinta itu melukaimu.”
“Ketika cinta datang, bukan lagi dirimu yang mengarahkan cinta. Tapi cinta yang mengarahkanmu. Di hadapan cinta sejati, dirimu hanya hamba sahaya.”
Cinta datang membentukmu. Ada bagian dirimu yang ditumbuhkan. Ada bagian dirimu yang dipangkas. Cinta datang seperti seorang perawat yang memelihara bunga. Ada bagian yang ia pupuk dan kuatkan. Ada bagian yang ia potong dengan tega.
Tapi bagaimana kita tahu? Bagaimana kita membedakan ini cinta sejati yang menumbuhkan, atau cinta buta yang membuat kita masuk jurang?
-000-
Jawabnya adalah insan kamil. Cinta sejati membawa kita menuju insan kamil. Cinta buta yang merusak mempunyai efek sebaliknya. Cinta buta menjauhkan kita dari kualitas insan kamil.
Apa itu insan kamil? Insan kamil adalah terminologi untuk manusia paripurna. Ia dibahas khusus dalam literatur kehidupan sufi. Dalam tradisi Islam, ia dibahas oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al- Jili.
Dalam tradisi di luar Islam, ada istilah yang berbeda dengan substansi yang mirip. Nietszhe menyebutnya the Ubermensch. Ia juga jenis manusia yang unggul. Bedanya insan kamil datang dari tradisi wahyu, ubermensch lahir dari renungan filsafat.
Insan kamil atau ubermensh atau manusia unggul atau warga yang bahagia adalah kategori untuk pribadi yang tumbuh sejati. Sisi darah dan dagingnya, raga dan spirit, utuh dan tumbuh lengkap. Ia tumbuh secara spiritual, intelektual dan juga ekonomi.
Pentingnya sisi ekonomi jarang dibahas oleh pemikir lama. Namun aneka riset terbaru soal happiness sudah menunjukkan. Setiap individu tetap memerlukan pencapaian minimal pertumbuhan ekonomi. Hidup yang serba kekurangan secara ekonomi, yang tak bisa memenuhi basic needs, juga mustahil dapat menuju manusia unggul.
Mendengar Kahlil Gibran, juga mendengar riset terbaru, semakin lengkap bayangan pertumbuhan pribadi.
Jika panggilan hidup datang, jika cinta memanggil, pastikan dulu apakah ini cinta sejati? Jika benar cinta sejati yang memanggil, menyerahlah. Pasrahlah. Ikutilah. Walau dalam proses, ia membawamu luka dan duka.
Seperti lempeng tembaga dirimu akan dipukul, dibakar dan diamplas, sehingga, abakadabra: dirimu menjadi piala. (*)
Comment