by

Sampah Asing Menjajah Indonesia

Loading…

KOPI, Jakarta – Indonesia masih terjajah. Penjajahnya sampah. Ya, sampah dari negara-negara asing masuk ke Indonesia dan menduduki tanah air. Tragisnya, sampah penjajah itu menyerbu Indonesia tanpa perlawanan. Sebaliknya penjajah itu diundang. Tragis!

Kisah tumpukan sampah asing di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto kemudian menjadi dilema. Importir sampah asal Amerika, Australia, dan Kanada secara “serampangan” menumpuk sampahnya di Desa Bangun. Padahal sampah tersebut sebagian besar masuk kategori B-3 (bahan berbahaya dan beracun). Tentu saja, di masa depan tanah Desa Bangun akan sangat tercemar. Bukan hanya polutan plastik, tapi juga bahan kimia berbahaya dan logam berat. Dampak lanjutannya, sampah B-3 tersebut akan terserap pepohonan, hewan, dan kehidupan microorganisma melalui rantai makanan. Dan ujungnya akan membahayakan manusia.

Di pihak lain, penduduk Desa Bangun untuk sementara bisa memilah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut sehingga layak jual (marketabel). Rakyat kecil pedesaan merasa untung. Padahal, dalam jangka panjang, akan buntung. Kini sungai dan air tanah di Desa Bangun dan sekitarnya sudah tercemar.

Riset LSM ECOTON menemukan: mikroplastik telah mencemari air tanah di desa Bangun dan sungai Brantas yang terletak di dekat kampung itu. Padahal sungai adalah sumber air minum bagi 5 juta orang di sepanjang DAS (daerah aliran sungai)nya. Kondisi ini jika dibiarkakan akan sangat berbahaya. Sampah asing di Desa Bangun akan menjadi mesin pembunuh bagi jutaan warga Jatim yang kebutuhan airnya berasal dari sungai terbesar di Jatim itu.

Kasus Desa Bangun yang dipenuhi sampah asing tersebut hanya secuil dari masalah yang sampah yang gigantik. Betapa tidak. Dari tahun ke tahun, impor sampah asing terus meningkat. Impor sampah tahun 2018, misalnya, naik 140 persen dibanding tahun 2017. Tahun 2019, impor sampah itu, niscaya lebih besar lagi dibanding tahun 2018.

Bagi pengusaha bumi datar, impor sampah itu sangat menguntungkan. Impor sampah adalah bisnis yang tak mengenal rugi. Kenapa? Karena apa yang disebut impor itu, sebetulnya sang pengusaha tidak membayar sampah sama sekali. Malahan ia dibayar negara yang mengekspor sampah. Negara-negara maju tidak mau sampah B-3 itu menumpuk di tanah airnya. Sampah itu harus dibuang ke negara yang mau menerimnya, dengan biaya seberapa pun. Di sanalah pengusaha impor sampah mengambil peran. Membantu negara-negara maju untuk membuang sampah ke negara-negara berkembang. Jadi, sejatinya, impor sampah ini bisnis absurd. Bisnis yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Tapi pada kenyataannya, bisnis impor sampah itu menggiurkan para pengusaha yang tak punya tanggungjawab terhadap masa depan tanah airnya. Terbukti tiap tahun impor sampah itu makin meningkat sejalan dengan makin banyaknya sampah yang menumpuk di negara-negara maju. Bayangkan, tahun 2018 saja, Indonesia mengimpor 283.000 ton sampah. Jauh lebih besar ketimbang jumlah sampah di kota-kota besar Indonesia (urban) yang pada tahun sama jumlahnya hanya 105.000 ton. Terbayang, jika sampah urban saja yang bisa didaur ulang hanya 15 persennya saja, terus bagaimana dengan sampah impor tadi?

“Kami sudah tahu kalau Indonesia itu kotor, dan sekarang Amerika, Kanada, dan Australia menambahkan sampah mereka ke negeri kami,” gerutu Prigi Arisandi, direktur eksekutif ECOTON saat demo anti-sampah impor di depan konsulat Amerika Serikat di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Sebetulnya, Indonesia sudah puluhan tahun menjadi tempat penampungan sampah dari luar negeri. Terutama dari negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Kanada, dan Eropa Barat. Kalau pemerintah jeli, banyak tanah di desa-desa – baik di Jawa maupun luar Jawa – yang telah jadi TPA (tempat pembuangan akhir) sampah luar negeri. Tahun 2000-an saja, misalnya, sejumlah negara maju sudah “mengekspor” sampah B-3-nya ke Indonesia. Belakangan aktivitas “ekspor” ilegal itu makin menjadi-jadi.

Terutama setelah Cina menghentikan “impor” sampahnya dari negara-negara maju. Pemerintahan Xi Jianping sejak tahun 2017 bertekad, Cina harus menjadi negeri yang bersih dan hijau. Cina pun menghentikan impor tersebut. Karena kehilangan TPA di Cina, negara-negara maju mencari tempat pembuangan sampahnya di negara-negara berkembang lain seperti Indonesia, Filipina, Myanmar, Vietnam, dan negara-negara Afrika.

Tapi belakangan negara-negara TPA sampah tersebut mulai menyadari bahaya sampah B-3 tersebut. Filipina dan Malaysia misalnya, baru-baru ini “memulangkan” ratusan kontainer sampah asing ke negara asalnya. Indonesia juga belum lama ini memulangkan sampah asal Perancis dan Amerika.

Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas terhadap para importir sampah asing tersebut. Mereka harus didenda dan dihukum berat karena merusak tanah air. Indonesia yang merdeka harus terbebas dari penjajahan sampah negara lain. Bangsa Indonesia harus sadar, bahwa negaranya benar-benar dilecehkan oleh negara asing karena dianggap sebagai TPA sampah.

Penulis: Nyoto Santoso Dosen Fakultas Kehutanan IPB

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

WARTA MENARIK LAINNYA