KOPI, Jakarta – Urusan setrum-menyetrum ternyata tidak sesederhana yang diperkirakan banyak orang. Yang dimaksud ‘orang’ di sini bukan melulu rakyat awam, lho. Ternyata, para pejabat publik, bahkan termasuk orang-orang yang diamanahi dan atau punya otoritas urusan setrumpun, banyak yang tidak paham.
Tidak percaya? Coba tengok Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerintah berambisi membangun pembangkit listrik 35 MW. Dalam pelaksanaannya, PLN dapat alokasi membangun 10.559 MW. Selebihnya yang 25.068 MW dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP) melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik. Anda perhatikan komposisinya? Swasta punya porsi dominan, 25.000 MW lebih!
Dalam soal penyediaan tenaga listrik, ada Peraturan Presiden RI nomor 4/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Di Perpres ini jelas-jelas Pemerintah menugaskan PLN membangun pembangkit tenaga listrik sebanyak 35 MW, gardu induk sebanyak 103 GVA, dan jaringan transmisi sebanyak 46.000 km. Tidak ada pembagian komposisi rigit antara PLN dan swasta.
Dalam pelaksanaannya, PLN bisa melakukannya dengan cara swakelola atau kerjasama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PLN. Cara lain, bisa juga menggandeng Pengembang Pembangkit Listrik (PPL).
Memangkas PLN
Bisa dikatakan RUPTL ini merupakan ‘turunan’ dari Perpres 14/2017. Tapi, dengan lahirnya RUPTL, porsi PLN dalam pembangunan pembangkit dipangkas menjadi hanya 10.000-an MW. Asal tahu saja, komposisi kepemilikan pembangkit tenaga listrik yang produksinya dijual melalui PLN Grup sebelum PIK adalah 36.973 MW (79%) dimiliki oleh PLN Grup dan 10.121 MW (21%) dimiliki oleh swasta. Ulangi, 79% PLN dan 21% swasta!
Pentingkah soal komposisi pembangunan pembangkit antara PLN dan swasta? Tentu. Sangat penting. Bayangkan, jika 25.068 MW pembangkit dibangun oleh IPP, maka persentase kepemilikan pembangkit PLN Grup usai berakhirnya program PIK bakal melorot jadi 57%. Sampai di sini paham?
Belum juga? Ok, begini konsekwensinya. Penguasaan pembangkit yang hanya 51% oleh PLN Grup berpotensi menimbulkan risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta. Kalau pasokan sudah dikendalikan, mereka pasti juga akan mengendalikan harga. Harga listrik bakal swasta kerek tinggi-tinggi. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama?
Mungkin dengan naif anda akan berkata, Pemerintah bisa menegur bahkan menjatuhkan sanksi kepada swasta yang menaikkan harga listrik seenak udelnya. Hohoho… kita sudah lama tidak punya Pemerintah yang bisa berbuat begitu. Coba tengok, apa yang Pemerintah lakukan saat harga beras mahal? Rakyat baiknya diet. Harga daging mahal? Rakyat ganti makan bekicot. Harga cabai mahal? Sebaiknya rakyat tanam cabai sendiri. Dan seterusnya, dan seterusnya…
Oya, satu lagi yang sangat perlu anda ketahui. Bisnis setrum teramat menggiurkan. Itulah sebabnya banyak pejabat yang berada di balik layar perusahaan swasta sebagai pemillik. Kalau pun mereka tidak punya selembar pun saham, dengan kekuasaan dan otoritas di tangan, pundi-pundi mereka bakal penuh dialiri uang sogok para swasta yang membeli kebijakan para pejabat culas tadi.
Anda bisa bayangkan, apa jadinya kalau swasta mengendalikan pasokan dan harga listrik? Ujung-ujungnya bisa mengganggu ketahanan dan kedaulatan listrik nasional. Sudah terbayang kengerian yang bakal terjadi? Listrik berada di bawah kendali para mafia.
Kembali ke soal RUPTL tadi, ternyata memang tidak semua pejabat publik, bahkan yang punya otoritas di kelistrikan, memahami dengan baik seluk-beluk persetruman. Yang dimaksud pejabat publik di sini bukan cuma di Kementerian ESDM, tapi juga mereka yang duduk sebagai anggota DPR di Senayan sana. Dan, yang lebih seram lagi, para pejabat publik tadi bukan cuma level dirjen apalagi cuma direktur. Mereka justru ada yang menteri bahkan Menko. Ngeri, kan?
Bisnis Ratusan Triliun
Bisa jadi, mereka memang tidak paham. Tapi, maaf, bukan tidak mungkin justru karena mereka sangat paham sampai ke tataran ini, maka aturan sengaja dibuat untuk memuluskan lahirnya dominasi swasta dalam pengadaan listrik dan pengendalian harganya. Ingat, bisnis setrum dan yang terkait (batubara, BBM, pelumas, dan lainnya) adalah bisnis skala superjumbo. Per kontrak nilainya bukan cuma semiliar-dua miliar perak. Tapi ratusan miliar hingga triliunan bahkan ratusan triliun rupiah. Siapa yang tidak ngiler?
Mau contoh? Pada 2018 saja, pembelian listrik dari swasta oleh PLN tercatat Rp. 84,3 triliun. Ini belum seberapa. Pada periode yang sama, belanja bahan bakar dan pelumas pabrik setrum pelat merah ini mencapai Rp. 137,3 triliun. Siapa bilang bisnis setrum tidak legit bin gurih?
Mungkin kita yang waras meragukan teori ini. Mosok ada pejabat publik yang gaji dan seabrek fasilitasnya dibayari rakyat tapi kebijakannya justru menyengsarakan rakyat. Harusnya memang hal seperti ini tidak (boleh) terjadi. Tapi, iming-iming komisi yang menggiurkan dari para pemilik pembangkit swasta terlalu sulit untuk ditampik. Soal komisi ini berlaku bagi para pejabat yang tidak punya pembangkit.
Sebaliknya, bukan rahasia banyak juga yang menjadi penguasaha alias penguasa sekaligus pengusaha. Menko Ekuin era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, menyebut makhluk jenis ini dengan Pengpeng.
“Menjadi penguasa itu mulia. Jadi pengusaha juga mulia. Tapi kalau menjadi Pengpeng sekaligus, ini akan menimbulkan keserakahan dan ketidakadilan. Dengan kekuasaan di genggaman, para Pengpeng merebut bisnis dari pengusaha murni yang tidak punya akses ke lingkar kekuasaan. Para Pengpeng mengendalikan harga untuk meraih keuntungan sangat tidak wajar. Akibatnya, terjadi distorsi ekonomi yang ujung-ujungnya merugikan negara dan memberatkan rakyat,” papar Rizal Ramli dalam banyak kesempatan.
Dominasi Negara, penting!
Sampai di sini semestinya menjadi keharusan jika negara harus punya kendali penuh atas pasokan dan harga listrik. Itulah sebabnya komposisi kepemilikan pembangkit oleh PLN seharusnya jauh lebih dominan dibandingkan swasta. Kendati sama-sama entitas usaha, watak keduanya tentu berbeda. Swasta menjadikan laba sebagai tujuan utama. Untuk itu segala cara bisa dan akan mereka lakukan untuk mewujudkannya.
Sedangkan PLN, walau harus menghasilkan laba, sebagai BUMN ia juga punya kewajiban melayani rakyat dan negara. Kepada rakyat PLN wajib menyediakan listrik yang andal, berkesinambungan, dan terjangkau harganya. Buat negara selaku pemegang saham, PLN musti menyetor sebagian labanya sebagai dividen. Tentu saja, semua pasal ini sama sekali tidak berlaku bagi swasta.
Jadi, sekali lagi perkara komposisi kepemilikan pembangkit menjadi amat sangat penting. Sebagai rakyat, kita memang mustahil bisa tahu dengan detil. Meski begitu kita tetap bisa ‘bunyi’ bahkan berteriak saat mengendus adanya tangan-tangan kotor yang berusaha menelikung aturan main guna memuaskan syahwat para Pengpeng dan atau swasta yang berselingkuh.
Woooi…!!! (*)
Penulis: Edy Mulyadi, wartawan senior
Comment