by

Haji dan Kurban untuk Kemanusiaan

Loading…

KOPI, Jakarta – Ketika Allah menyuruh Ibrahim untuk menyembelih Ismail; kemudian Allah menggantinya dengan domba setelah tahu ketaatan total Ibrahim atas perintahNya – saat itulah terjadi “revolusi dalam sejarah” kebudayaan purba di Jazirah Arab dan sekitarnya. Betapa tidak! – saat itu, dalam masyarakat purba di jazirah, kurban yang dipersembahkan untuk “tuhan-tuhan” kepercayaan primitif, adalah benar-benar manusia.

Kepercayaan purba di sana – juga di wilayah lain seperti Persia dan Hindustan – apa yang mereka anggap tuhan, tiap tahun membutuhkan “darah manusia”. Tokoh agama, tetua, dan raja atau kepala suku di jazirah, saat itu sengaja memberikan “manusia” kepada tuhan-tuhannya dengan jalan dibunuh, lalu mayatnya dilemparkan ke sungai atau dibiarkan kering di padang pasir untuk suguhan kepada tuhan. Jika hal itu tidak dilakukan, mereka percaya, tuhan akan marah. Dampaknya akan terjadi bencana alam atau mewabahnya penyakit mematikan.

Secara antropologis, kisah-kisah mengerikan tersebut, bisa dilacak kejadiannya di masyarakat purba. Tidak hanya di jazirah Arab, tapi juga di wilayah-wilayah lain yang jauh dari masyarakat di mana Ibrahim dan Ismail hidup. Ritus penyembelihan manusia tersebut, oleh Tuhannya Ibrahim dan Ismail, direformasi total. Bukan manusia yang dikurbankan, tapi domba atau binatang lain yang sejenis dan halal, seperti unta, sapi, biri-biri, dan lainnya.

Dari perspektif itulah kita seharusnya melihat “esensi kurban” di Hari Raya Idul Adha. Esensi pertama adalah manusia harus beriman dan pasrah total kepada perintah Allah. Kurban sejatinya hanya simbolik. Esensinya adalah taqwa dan keikhlasan. Jadi, bukan memberi daging yang mendapat “penghormatan” dari Allah. Tapi keikhlasan kita untuk taat total agar mendapat ridhoNya.

Kedua, peristiwa qurban menjadi simbol “reformasi total” atas kurban yang menyembelih manusia, menjadi kurban yang menyembelih binatang kaki empat yang halal. Ini adalah revolusi dalam ritus-ritus agama yang ada saat itu. Allah menunjukkan kepada manusia, ketaatan terhadapNya bukan melalui “jalan darah penyembelih manusia” sebagai makhluk termulia seperti kepercayaan purba. Tapi cukup dengan penyembelihan binatang konsumsi manusia. Selanjutnya daging kurban itu tidak dipersembahkan kepada Tuhan seperti kepercayaan agama-agama lokal saat itu. Tapi dipersembahkan kepada manusia untuk disantap dan dinikmati.

Ketiga, kurban juga punya tujuan lebih luas dari sekadar nilai “ritus agama dan revolusi legenda antropologis”. Tapi juga, secara inheren mengandung tujuan ekonomis; dalam arti memerangi kemiskinan dan kekurangan gizi masyarakat. Orang yang berkurban niscaya punya kemampuan lebih secara ekonomi sehingga bisa memberikan hartanya dalam bentuk hewan kurban untuk orang yang miskin dan membutuhkan makanan.

Keempat, kurban juga menjadi “pengungkit” perbaikan akhlak manusia, khususnya dalam meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Dengan kesedian muslim memberikan kurban, itu artinya meningkatkan “kerelaan berderma dan bersedekah” demi kemaslahatan umat.

Kelima, last but not least, fikih kurban pun bisa ditransformasi menjadi fikih ekonomi. Kelompok muslim tertentu seperti di Saudi, Mesir, Kuwait, Maroko, dan Libanon (bahkan di Indonesia) sudah melakukan “industrialisasi” kurban dalam pengertian positif. Daging kurban tidak dimakan sesaat, tapi dikalengkan sehingga menjadi “corned beef” yang bisa disimpan lama. Bila ada suatu kebutuhan mendesak, mustahik pun bisa menjual corned beef tersebut untuk kebutuhan yang lebih penting. Lalu pemeliharaan (farming) sapi, kambing, dan hewan kurban lain sudah dilakukan secara modern dengan konsep industri syariah lengkap dengan manajemen yang pruden dan transparan. Dengan demikian, ritus kurban bisa memberikan nilai tambah ekonomi kepada umat, bangsa, dan negara.

Semoga Idul Qurban membawa berkah dan rahmat kepada kita semua. (**)

KH Dr. Amidhan Shaberah, Ketua MUI (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA