KOPI, Jakarta – “Ya Allah, Kau nenek moyangku. Apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri? Mengapa kau sampai hati mewariskan adat semacam ini?”
Minke, tokoh utama Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, termasuk generasi pertama kaum terpelajar pribumi di tahun 1900-an. Ia terpesona oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang dibawa Eropa. Ia tersihir oleh kata batu yang revolusioner: menjadi modern.
Kini ia diminta adat berjalan merangkak menuju kursi goyang untuk menghadap seorang bupati. Bagaimana mungkin protesnya. Manusia modern sudah bisa berjalan tegak menatap matahari dengan kedua kakinya. Oleh adat nenek moyang, kini diminta berjalan merangkak, dengan kaki, dan tangan, menuju kursi goyang seorang bupati.
Walau ternyata bupati itu ayah kandungnya sendiri, Minke tetap mengumpat. Masa depan bangsa ini, keluhnya justru harus keluar dari adat yang merendahkan manusia, yang penuh tahayul. Sudah menunggu di sana peradaban baru, yang dibawa Eropa. Itulah modernitas, ilmu pengetahuan, rasionalitas.
Namun kemudian Minke pun kecewa. Budaya Eropa yang ia agungkan melahirkan kolonialisme yang juga menindas, tak adil, diksriminatif. Kemajuan ilmu dan tertib hukum justru menjadi alat mengeksploitasi.
Itulah momentum di batin Minke untuk menjadi aktivis politik. Ujarnya, Ini bumi untuk semua manusia! Tak ada kecuali. Semua manusia harus diperlakukan sama. Bangsa ini harus dibangkitkan. Pribumi harus dididik, diajarkan berorganisasi, agar bisa mengusir penjajahan.
Figur Minke yang intelektual, yang revolusioner, tak hanya mewarnai novel Bumi Manusia. Namun karakter itu juga mewarnai tiga novel lainnya karya Pramudya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Jika ada yang perlu dikritik dari film Hanung Bramantyo dengan skenario ditulis oleh Salman Aristo, yang memukau dengan film Bumi Manusia adalah figur Minke itu. Karakter Minke yang intelektual dan revolusioner, yang keras memprotes adat, tak sepenuhnya berhasil dimunculkan dalam figur Iqbaal Ramadhan.
Itulah kekuatan novel yang hilang dalam film Bumi Manusia!
Mungkin juga figur Iqbaal Ramadhan yang sudah terlalu menyatu dengan karakter film Dilan. Setiap kali melihat Iqbaal, walau sedang memerankan Minke, yang muncul tetap bayangan Dilan: remaja yang hidupnya sangat rileks, ngocol, merayu perempuan dengan gombal.
Figur Iqbaal terasa terlalu lembut dan ringan untuk memerankan tokoh sejarah “sang pemula, Minke: Tirto Adhi Soerjo. Di film itu, tokoh revolusioner menjadi “imut-imut.”
Namun di sisi lain, film Bumi Manusia itu melalui Iqbal mungkin justru berhasil menggaet kaum milineal menontonnya. Bagaimanapun segmen penonton bioskop adalah mereka. Dimainkannya Iqbaal di film itu menjadi pertanda kompromi sengaja dipilih untuk kepentingan pasar.
-000-
Sisi politik dari karya Pramudya mustahil diabaikan. Melihat karya Pram berkibar dengan bebas di bioskop sebenarnya kita menyaksikan Indonesia yang sedang berevolusi.
Teringat saya suasana Indonesia di tahun 80an, di era Orde Baru. Buku Pram itu dilarang dengan keras. Saya selaku aktivis mahasiswa yang gemar menulis, selalu mencari cara membaca dengan sembunyi-sembunyi empat novel Pram dalam Tetralogi Pulau Buru.
Seorang sahabat, sesama aktivis, dipenjara delapan tahun hanya karena membuat diskusi terbuka soal buku Pram. Betapa Indonesia sudah berubah. Buku Pram itu bahkan kini menjadi film yang bebas ditonton dan diperbincangkan.
Karena Indonesia sudah berubah, hal yang dulu malapetaka bagi Pramudya berubah pula menjadi berkah. Kesulitan yang menimpa dirinya diasingkan 14 tahun di pulau buru, memulai menulis novel di sana dengan tradisi oral karena tak disediakan kertas, bukunya dilarang, itu justru yang membuat bukunya menjadi legenda.
Penulis lain dapat saja menyamai bahkan melampaui kualitas novel Pram. Namun penulis lain tak bisa mendapatkan daya keramat proses penulisan novel Pram. Bagaimanapun Pram menulis novel itu dalam situasi disiksa, diasingkan, dipenjara, didiskriminasi.
Proses penulisan itu menjadi bonus maha hebat menambah bobot novelnya. Ada riwayat politik yang terlalu ekstrem yang ikut mewarnai proses kreatif Pram hingga penerbitannya.
Sisi politik karya Pram itu tak bisa dilepas. Tak heran banyak aktivis politik dan intelektual yang tak terlalu puas dengan film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo karena sisi politik itu. Namun penonton kalangan milineal apalagi yang tak mendalami kisah politik di atas, cukup terharu birukan oleh film itu.
-000-
Sungguh saya berharap Falcon Pictures, Hanung Bramantyo dan Salman Aristo kembali bekerja sama memfimkan sekuelnya: Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Kisah bangsa yang tersimpan dan novel itu sangat berharga menjadi bahan renungan bersama.
Apa daya novel dan sastra kini semakin tidak dibaca. Survei LSI Denny JA tahun lalu, hanya 6 persen populasi Indonesia yang dalam tahun itu membaca setidaknnya satu buku sastra saja: novel, cerpen, puisi atau drama. Dari 6 persen yang membaca, hanya separuhnya (3 persen) yang ingat judul buku dan pengarangnya.
Bahkan semua nama sastrawan terkemuka di Indonesia tak lagi dikenal namanya. Yang paling top dari mereka: Charil Anwar, dikenal di atas 6 persen. Yang lainnya, termasuk Pramudya Ananta Toer hanya dikenal di bawah 3 persen saja.
Mengapa Chairil Anwar paling dikenal? Itupun karena buku puisinya Aku disinggung dalam film Ada Apa dengan Cinta.
Film menjadi medium generasi berikutnya. Memfilmkan novel sudah menjadi genre film tersendiri. Novel besar seperti Doctor Zhivago, Great Gasby, Anne Karenina, Gone With The Wind, juga berhasil menjadi film.
Saya sendiri sedang membuat serial film mini seri untuk televisi. Mungkin untuk pertama kalinya, 35 serial mini film semuanya berlandaskan 35 puisi esai. Local wisdom yang dipotret melalui puisi esai di 34 provinsi kini sedang berproses menjadi 35 skenario.
Selamat untuk Falcon Pictures, Hanung Bramantyo dan Salman Aristo. Terlepas dari kritik di atas, Film Bumi Manusia sangat layak ditonton. Selasa kemarin kantor saya liburkan setengah hari. Semua awak mulai dari pimpinan hingga office boy dan supir saya minta nobar ke bioskop menonton film itu. (*)
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment