KOPI, Bekasi – Rumah besar berpagar hijau itu pekarangannnya luas. Di sekelilingnya terdapat kebun aneka tumbuhan.Terong, timun, tomat, cabai, brokoli, kubis, paprika, buncis, wortel, kentang, dan macam-macam. Di kejauhan, dua ratusan meter dari rumah, terdapat kandang sapi. Ratusan sapi ras Belanda yang bongsor terlihat sedang makan rumput dengan lahap. Puluhan orang sedang memerah susu dari sapi-sapi besar itu.
Di dapur rumah yang besar, susu sapi diolah jadi keju, yogurt, aneka kueh, dan makanan lain berbasis susu. Sayuran, susu, keju, dan kueh tersebut dijual ke kota Surabaya. Konsumennya kebanyakan orang Belanda.
Lahan sekitar rumah besar yang luasnya ratusan hektar itu merupakan agribisnis terpadu. Sapi makan dari rumput gajah dan tebangan pohon sayuran yang sudah tidak berbuah. Kotoran sapi dipakai untuk pupuk tanaman. Tiap hari ratusan petani bekerja di lahan bisnis pertanian terpadu yang dikomandani Nyai Ontosoroh itu.
Dengan tinggi badan 167 Cm, wajah cantik, dan tubuh serasi, Nyai Ontosoroh terlihat amat mempesona. Wanita cantik dan berwibawa itu, sepenuhnya mengendalikan perusahaan agribisnis tersebut. Ia terlihat cekatan, trampil, berwibawa, dan selalu rapi memakai kebaya Jawa.
“Annelies, ada tamu di depan rumah. Tolong ditemui,” kata Nyai Ontosoroh menyuruh anak perempuan satu-satunya itu untuk menemui tamu. Tamunya, teman-teman Robert, putra sulung Nyai Ontosoroh di HBS. Surhoff dan Minke.
Minke, siswa kelas tiga HBS (sekolah menengah zaman kolonial, setingkat SMA sekarang) mendadak tersirap melihat kecantikan Annelis. Jantungnya berdegup keras. Minke seperti melihat bidadari dari kayangan. Sebelumnya, ia merasa tak pernah melihat wanita secantik itu.
Minke mampir ke rumah Annelies sebetulnya diajak Surhoff, teman akrabnya. Sejak lama, Surhoff naksir berat pada Annelies. Ia ingin pamer kepada Minke, betapa cantik noni yang ditaksirnya. Makanya, di hadapan Annelies, Surhoff merasa lebih tinggi derajatnya dari Minke. Maklum Surhoff berdarah blasteran, indo-belanda. Sedangkan Minke jawa totok. Meski demikian, Minke tidak minder di hadapan Annelies. Malah digagah-gagahkan. Ia pede dengan darah jawanya. Ia tidak merasa rendah diri di hadapan gadis indo cantik itu.
“Perkenalkan, aku Minke, siswa HBS,” kata pemuda asli pribumi Jawa itu.
“Aku Annelies Mellema,” jawab gadis itu. Tangan Minke gemetar saat salaman dengan Annelis. Dua mata Minke menatap Annelis dengan penuh kekaguman. Dan, rupanya Annelis pun merespon tatapan mata Minke dengan suka cita.
“Ayo masuk Minke. Kau adalah tamuku. Tidak usah malu-malu,” ajak Annelies ramah. Minke makin terpesona. Apalagi setelah masuk rumah dan melihat perabotan di ruang tamu. Perabotan rumah yang bagus dan mahal. Minke ternganga dengan keindahan ruang tamu rumah Annelies.
Anehnya, Annelies justru mengajak Minke masuk ruang tamu. Sedang temannya Minke yang indo Belanda, Surhoff, dibiarkan mengobrol dengan Robert di beranda depan rumah. Rupanya Annelies menganggap Minke sebagai tamunya. Sedangkan Surhoff dianggap tamunya Robert.
“Kau cantik sekali Annelies. Bidadari pun malu melihatmu,” ujar Minke spontan. Ha? Annelies kaget luar biasa mendengar pujian Minke. Tapi gadis indo belanda itu tampaknya suka mendengar pujian Minke. Ia tersenyum. Minke pun tersenyum melihat Annelies yang senang mendengar pujiannya.
Sejak pertemuan itu, Minke jatuh cinta kepada Annelies. Cinta pada pandangan pertama. Pagi, siang, sore, dan malam wajah Annelies yang cantik selalu terbayang di mata Minke. Selama ini Minke belum pernah mengenal gadis secantik Annelies. Putih, tinggi, mata biru, rambut ikal, dan duhai senyumnya, membuat jantung Minke bergemuruh. “Bidadari di seluruh swarga loka, tak ada yang secantik Annelies,” batin Minke.
Rasa cinta yang membuncah di hati Minke, pemuda yang wajah, kulit, dan tubuhnya persis mirip Dilan itu, membuatnya rajin berkunjung ke rumah Nyai Ontosoroh. Minke pandai membawa diri di depan Nyai. Annelies pun makin suka kepada Minke yang dianggapnya ramah, lucu, dan bisa menyesuaikan dengan gaya hidup ibunya.
“Minke ayo jalan-jalan lihat peternakan Mamah,” ajak Annelies kepada pemuda ganteng mirip Dilan itu. Keduanya pergi ke tengah sawah dan melihat-lihat sapi. Saat mereka berdiri di tepi rawa yang berair bening, tiba-tiba Minke tak tahan ingin mencium Annelis. Hidung pesek Minke – tanpa sepengetahuan gadis indo itu – langsung ditempelkan ke pipi Annelies yang berhidung mancung tersebut.
Annelies kaget. Gadis itu langsung lari meninggalkan Minke. Minke mengejarnya. Annelis lebih dulu sampai di rumah. Ia mengadu kepada ibunya. Ada pribumi Jawa berani menciumnya.
Sampai di rumah, Minke memanggil-manggil Annelies. Gadis itu tak menjawab panggilan Minke. Yang muncul malah Nyai Ontosoroh. Minke kaget. Ia kikuk berhadapan dengan wanita baya yang berwibawa itu.
“Minke kau berdiri di sini. Aku akan panggil Annelies,” kata Nyai Ontosoroh. Panas matahari di halaman depan rumah besar itu tak digubrisnya. Nyai memanggil kedua remaja itu untuk diinterogasi.
“Annelies ke sini,” kata Nyai Ontosoroh. Annelies pun menghadap ibunya. Berjarak sekitar tujuh meter dari Minke. Sedangkan Minke tepat berada di depan Nyai Ontosoroh. Minke terlihat pucat. Takut mendapat makian dari Nyai Ontosoroh. Takut akan hukuman yang akan diterimanya karena pengaduan Annelies yang tiba-tiba diciumnya.
“Aku terlalu nekad mencium Annelies. Sebagai lelaki muda aku memang tak tahan melihat kecantikannya. Aku hilang akal saat melihat rona merah pipi gadis indo yang indah bagaikan lukisan Monalisa itu,” batin Minke. Ia menyesal karena membuat marah Annalies.
“Aku salah perhitungan. Meski kelihatan baik, Annelies bukan gadis Eropa murahan yang gampang dicium seperti teman-temannya di HBS. Ternyata, ia marah ketika dicium. Ia lari dan mengadu kepada ibunya,” gerutu Minke.
Minke makin cemas. Kalau ibunya tidak terima anaknya dicium lelaki pribumi semacamku, ini bisa gawat. Duh…nasib pribumi yang menyintai gadis indo! Batin Minke berkeluh kesah.
Minke baru sadar, mencium Annelies adalah sebuah kesalahan besar. Seorang pribumi yang derajatnya jauh di bawah gadis Indo Eropa, berani berbuat nekad mencium anak Tuan Mellema. Andaikan Nyai Ontosoroh dan Annelies melaporkan perbuatannya ke polisi, lalu Minke dituduh melakukan pelecehan seksual, keadaannya bisa gawat. Ia bisa dihukum berat dan disiksa di penjara.
“Minke, benarkah tadi kamu mencium Annelies?,” kata Nyai Ontosoroh. Suaranya tegas.
“Iya Nyai,” kata Minke ndregdeg.
Jadi benar kata Annelies, kau menciumnya. Annelies tidak berbohong.
Minke makin ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Takut terkena hukuman.
“Baik kalau begitu. Sekarang, tunjukkan bagaimana caranya kau mencium Annelies,” tegas Nyai Ontosoroh seperti hakim yang ingin menyaksikan reka ulang kejahatan terdakwa.
Annelies bingung atas permintaan ibunya. Ia melangkah mundur. Menjauh dari Nyai. Ia malu dan keder.
“Tenang. Ikuti perintah!” Dengan suara tegas Nyai Ontosoroh minta Annelies untuk tenang.
“Ayo Minke. Cium Annelies di dekat ibu. Seperti laporan Annelies.”
“Dengan rasa takut yang luar biasa, Minke menuruti perintah Nyai Ontosoroh yang tegas bagaikan hakim Belanda itu.
“Sret. Hidung Minke pun kembali menempel di pipi Annelies yang ketakutan.”
“Ya sudah. Ibu sudah tahu. Kau memang mencium Annelies.”
Minke gemetar. Menunggu apa yang akan dikatakan Nyai Ontosoroh selanjutnya. Ia pasrah pada hukuman apa pun yang akan diterima dari Nyai atas kelancangannya.
“Kau pria jantan Minke. Kau jujur. Berbaik-baiklah kau kepada Annelies. Dia gadis lugu. Dia kurang pergaulan,” kata Nyai Ontosoroh.
Byar! Minke merasa plong. Beban sebesar Gunung Merapi telah sirna dari jiwanya. Ia senang mendengar keputusan “sang hakim” Nyai Ontosoroh. Ia tidak dihukum. Malah disuruh baik-baikan berteman dengan Annelies.
Nyai tampaknya sudah tahu Minke jatuh cinta kepada putrinya. Dan Nyai juga tahu, sebetulnya Annelies menyukai Minke.
Sejak itulah, Minke makin dekat dengan Annelies. Keduanya menjadi sepasang kekasih yang saling menyayangi. Minke kerap tidur di rumah Annelies. Kamar tidur untuk Minke hanya terpisah lorong kecil dengan kamar tidur Annelies. Sesekali, Minke yang senang bercanda seperti Dilan, menggoda Annelies.
“Annelies, kau ini indo belanda. Cantik sekali. Kenapa mau denganku?,”
“Aku suka denganmu. Kau pinter. Dan lucu. Aku tahu kau murid terpandai di HBS. Mengalahkan anak-anak indo belanda. Aku bangga terhadapmu. Aku ingin jadi orang sepertimu. Jadi orang Hindia Belanda. Tapi pinter dan berwawasan luas. Karena itu aku menyukaimu.”
“Ha? Bukankah orang Hindia Belanda derajatnya lebih rendah dari orang Eropa?”
Saat itu belum ada sebutan Indonesia. Adanya Hindia Belanda.
“Bagiku setiap manusia sama. Orang kulit putih maupun pribumi sama,” kata Annelies.
“Surhoff menyukaimu. Kenapa kau tolak cintanya?,” kata Minke.
“Aku tidak menyukai Surhoff. Surat-surat cintanya tak pernah aku balas.”
“Kenapa kau lapor ke ibu waktu aku cium?”
“Kaget. Ciumanmu terlalu mendadak.”
“Ah sebenarnya kau senang aku cium. Kau hanya pura-pura marah,” ledek Minke. Minke dan Annelies tertawa bersama.
“Luar biasa cara pikir gadis indo yang satu ini,” batin Minke. Ia seorang intelek. Jujur sejak dalam pikiran.
“Cantik, pintar, anak tuan tanah kaya, dan ingin jadi pribumi.” Di mata Minke, Annelies gadis ideal. Gadis yang punya visi jauh ke depan. Gadis yang egaliter. Minke pun makin sayang kepada Annelies. Begitu pun sebaliknya.
Kedua insan berbeda etnis ini, akhirnya memutuskan untuk menikah. Nyai Ontosoroh setuju. Tapi ayahnya Minke, tidak setuju. Sebagai pejabat daerah yang diangkat Belanda, ayahnya Minke mengaggap putranya terlalu sembrono. Nekad. Berani menikahi putri Tuan Malleman, orang Belanda yang derajatnya jauh lebih tinggi dari pribumi totok. Tapi ibunya Minke setuju. Bagi ibunya Minke, cinta anak manusia tidak bisa dihalangi. Cinta mengatasi perbedaan etnis dan warna kulit. Ibunya Minke malah membawa dua kebaya keraton yang sama untuk dipakai dirinya dan Nyai Ontosoroh dalam resepsi pernikahan nanti. Pernikahan pun berlangsung meriah meski tanpa bapaknya Minke dan ayahnya Annelis. Tuan Mellema meninggal karena keracunan di rumah bordil sebelum Annelies menikah.
Di malam pertama, pasangan beda warna kulit itu, terlihat sangat bahagia. Dalam kamar temaram, Minke mengelus rambut Annelies yang ikal panjang berawarna coklat kemerahan. Dari rambut, jari-jari Minke menyentuh lengannya, terus mengelus bahu Annelies yang putih berkilau. Minke terpesona melihat tubuh Annelies yang putih, bersih, dan seksi. Dua gunung kembar Annelies yang ranum dengan puting mungil warna coklat yang terlihat dari busana malam pengantin, membuat mata Minke tak berkedip. Air liur Minke terasa asin. Ia menelan ludahnya.
Dengan lembut jari-jari Minke menyentuh bagian sensitif berwarna coklat milik Annelies itu. Minke memejamkan mata untuk merasakan kelembutannya. Ia merasakan, mutiara coklat sebesar batu cincin mungil di dada Annelies makin lama makin hangat dan mengeras.
Tiba-tiba reaksi Annelies luar biasa. Ia langsung mendekap Minke. Kuat sekali. Lalu, tangan Annelies melucuti celana Minke. Dengan nafsu membara, Annelies menuntun Minke agar mencapai puncak birahi. Mereka bergumul seperti anak kecil bergelut. Keringat mulai membasahi kedua tubuh bugil di ranjang merah muda itu. Tak lama kemudian, Annelies menjerit. Minke pun mendesah panjang. Mereka terengah-engah setelah menikmati puncak sorga.
Tiba-tiba, selesai puncak pendakian cinta itu, Minke terdiam. Matanya kosong. Ia memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian, Annelies menangis. Ia terisak sedih. What’s wrong?
“Maafkan Minke. Aku tahu kau kecewa.”
“Minke terdiam. Ia membiarkan istrinya bicara.”
“Aku memang tidak perawan. Maafkan Minke!”
“Minke masih diam.”
“Kau marah Minke?”
“Siapa yang mrawani kamu? Ayo katakan, Annelies.”
Annelies tiba-tiba menangis. Sedih. Tapi tetap membisu. Ia tak mau mengatakan, siapa yang mrawaninya. Sekeras apa pun Minke minta Annelies menyebutkan pria yang mrawaninya, ia tetap bungkam.
Kerisauan Minke setelah malam pertama itu, akhirnya tercium Nyai Ontosoroh dan dokter keluarga Mellema. Nyai Ontosoroh minta dokter untuk mencari tahu siapa yang mrawani Annelis. Sebab sepengetahuan Nyai Ontosoroh, Annelies tidak pernah punya pacar, tidak pernah tidur dengan pria di kamarnya, dan tidak pernah punya teman dekat selain Minke. Ini pasti ada sesuatu yang salah.
Setelah didesak dokter, akhirnya Annelies dengan tangis sesenggukan membuka siapa pria yang mrawaninya.
“Robert memperkosa aku di kandang sapi,” kata Annelies.
“Robert kakak kandungmu?” tanya dokter.
Annelies mengangguk. Betapa kagetnya sang dokter. “Sungguh peristiwa keji itu tak pernah terbayangkan. Meski dalam mimpi buruk sekalipun,” keluh dokter.
“Keluarga ini kacau!” kata dokter menahan kegundahannya. Setelah Nyai Ontosoroh tahu permasalahannya dan memarahi Robert dengan keras, ia berkata kepada Minke.
“Terserah bagaimana kelanjutan perkawinanmu dengan Annelies,” kata Nyai.
“Ibu, bagaimana pun Annelies adalah istriku. Ia tidak bersalah. Aku akan tetap jadi suaminya. Aku tetap menyayangi Annelies sampai kapan pun,” tegas Minke.
“Aku menyintai Annelies. Dan aku tetap menyintai apa adanya, dengan segala suka, luka, dan duka. Bagiku cinta itu indah. Dan tetap indah baik ketika tumbuh, berkembang, sampai proses pelapukannya. Dalam kondisi apa pun cinta itu indah,” jelas Minke. Nyai Ontosoroh terkesima mendengar penjelasan Minke.
Nyai Ontosoroh sangat senang mendengar pernyataan cinta Minke kepada putrinya. “Terimakasih Minke, tolong jaga baik-baik Annelies. Ia gadis yang rapuh.”
Nyai Ontosoroh merasa telah menjodohkan Annelies dengan orang yang tepat. Ia berharap Annelies akan mendapat kebahagian suami istri yang sejati. Bukan kebahagiaan sandiwara dan paksaan seperti dirinya.
Setelah melalui peristiwa itu, Minke dan Annelies hidup bahagia. Nyai Ontosoroh pun menyayangi anak dan menantunya itu.
Tapi Robert, makin gila. Setelah rahasianya terbongkar memperkosa Annelies, Robert makin merusak keluarga itu. Ia sering minum alkohol seperti ayahnya, sering berantem dengan centeng rumah Darsam, dan suka bikin ribut dengan petani. Suatu ketika Robert melaporkan pernikahan Minke dan Annelis ke polisi Belanda.
“Pernikahan ini tidak sah. Annelies masih di bawah umur,” lapor Robert ke polisi.
Polisi menerima laporan Robert. Pengadilan Surabaya memutuskan, Annelies belum cukup umur untuk menikah. Ia harus di bawah perwalian dengan pengawasan Pengadilan Belanda. Tidak hanya itu, hakim Belanda juga memutuskan Annelies harus dibawa ke Nederland untuk perwalian karena ia bukan anak Nyai Ontosoroh.
Keputusan tersebut membuat marah Minke dan Nyai Ontosoroh.
“Bagaimana mungkin, Annelies belum dewasa. Ia sudah akil balig. Ia sudah menikah secara hukum Islam,” tegas Minke.
“Tuan Minke, di sini yang berlaku hukum Belanda. Bukan hukum Islam.” Minke terdiam. Giginya gemeretak menahan kemarahannya.
Gila, pengadilan macam apa ini? Minke yang selama ini menganggap hukum Eropa itu modern, langsung muak. Hukum Eropa tidak punya perikemanusiaan. Tidak menghargai adat istiadat, tidak menghargai agama, tidak menghargai keluarga, tidak menghargai cinta. Minke marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hukum tetap hukum.
Nyai Ontosoroh pun mukanya merah padam ketika mendengar Annelis oleh pengadilan dianggap bukan anaknya.
“Tuan-tuan, aku ini ibunya Annelies. Aku yang melahirkan Annelies dengan darah dagingku; aku yang membesarkannya; lalu kenapa pengadilan Belanda tidak mengakui Annelies sebagai putriku?”
“Nyai, ini hukum. Nyai tidak pernah menikah dengan Tuan Mellema secara hukum. Nyai tidak punya bukti surat pernikahan dengan Tuan Mellema. Dengan demikian, secara hukum Nona Annelies bukan anak Nyai!”
Masa lalu Nyai Ontosoroh berkelebat dalam bayangan wanita baya itu. Pedih jika ingat masa lalunya. Ia dulu bernama Sanikem, dijual ayahnya yang miskin kepada juru bayar perkebunan Belanda bernama Herman Mellema saat usianya baru 14 tahun. Ia jadi gundik tanpa dinikahi secara resmi. Sampai melahirkan dua anak, Robert dan Annelies. Sampai Mellema mati keracunan, statusnya masih gundik. Tidak ada surat pernikahan.
Sanikem statusnya tetap gundik sampai kapan pun, sejak umur 14 tahun ketika dipaksa tidur dengan Herman Mellema oleh ayahnya. Sanikem yang masih bau kencur tidak berdaya. Hatinya pedih, perih. Jiwanya sakit karena batinnya terluka. Tapi Sanikem tetap menjalaninya sambil belajar apa saja, termasuk belajar mengenal budaya Eropa.
Satu-satunya kebaikan Mellema yang dikenang Sanikem, ia mengajarinya baca tulis dan bahasa Belanda dengan telaten. Itulah yang membuat Sanikem pandai dan mahir bahasa Belanda. Sanikem yang cerdas tumbuh menjadi wanita dewasa yang matang dan pinter. Sanikem yang kampungan, kini berubah menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas, kreatif, dan pergaulannya luas. Orang-orang Belanda pun hormat kepada Nyai Ontosoroh. Berkat kerja kerasnya, bisnis pertanian, peternakan, dan industri susu milik ayah Annelis itu maju. Sebaliknya sang suami ilegal, Mellema. Di usia tuanya, ia kehilangan orientasi. Jiwanya terguncang. Entah kenapa. Ia merasa hidupnya tidak berarti. Pelampiasannya, banyak minum arak dan mabuk-mabukan. Bersenang-senang di rumah bordil milik Babah Ah Tjong di Surabaya. Mellema pun akhirnya mati karena racun di rumah bordil itu.
“Nyai tidak punya hak apa pun di keluarga Mellema. Annelies bukan anak Nyai. Seluruh harta kekayaan Tuan Mellema juga bukan milik Nyai. Pengadilan menyita seluruh harta Nyai Ontosoroh,” kata hakim.
“Belanda keparat. Negerimu, wahai hakim, membuat hukum hanya untuk kepentinganmu sendiri. Kepentingan para penjajah yang rasis dan zalim. Untuk apa hukum kalau menindas kemanusiaan? Untuk apa hukum kalau menindas cinta?” teriak Nyai Ontosoroh. Hakim terdiam. Tenggorokannya tercekat mendengar kata-kata pedas Nyai.
“Bumi ini untuk manusia. Hukum itu untuk manusia, hakim. Hukum itu untuk menegakkan keadilan. Hukum itu untuk meneguhkan kemanusiaan. Mana martabat Eropa yang tuan-tuan agungkan?” teriak Ontosoroh.
Bule-bule yang menyaksikan persidangan blingsatan. Beberapa bule menutup mukanya. Malu mendengar pembelaan Nyai Ontosoroh.
Hakim di Gedung Landrad Surabaya terdiam mendengar kemarahan yang cerdas dari Nyai Ontosoroh. Mereka tercekik; tapi tak bisa berbuat apa-apa. Meski apa yang diucapkannya benar, Nyai juga tak bisa apa-apa; tetap takluk menghadapi hukum kolonial Belanda yang diskriminatif dan rasis itu.
“Minke, kita habis sudah. Kita tidak punya apa-apa lagi. Annelies akan dibawa ke Belanda. Harta kekayaan kita disita kompeni. Robert yang durhaka pergi ke Belanda,” ujar Nyai Ontosoroh. Minke gregetan. Hatinya membara menyaksikan kekalahan Nyai Ontosoroh di pengadilan Belanda yang curang itu.
“Tapi, kita telah melawan, Minke! Meskipun kalah. Setidak-tidaknya sejarah akan mencatat kita telah melakukan perlawanan,” kata Nyai Ontosoroh. Minke mengangguk, mengagumi mertuanya yang cerdas itu.
Kemarahan Minke juga menggelegak. Ia tidak terima dengan pengadilan rasis dan jahat itu.
Minke berteriak. “Lihat, aku akan melawan kejahatan hukum kolonial. Aku punya pena. Aku akan berjuang dan melawan dengan pena. Dengan penaku seluruh dunia akan tahu, kolonialisme adalah kejahatan kemanusiaan yang tiada tara. Kolonialisme harus dihapus dari muka bumi.”
“Aku harus melawan sampai kapan pun terhadap kezaliman. Saat ini kami sudah melawan, meski kalah. Aku yakin cepat atau lambat, keadilan akan menang. Karena tanpa keadilan, bumi manusia akan runtuh,” tegas Minke.
NB. Cerpen ini diadaptasi dengan interpretasi bebas setelah saya (bersama Kelompok Ciputat School) nobar film Bumi Manusia (BM) di Pondok Indah Mall, Jaksel. Film yang diangkat dari novel “Bumi Manusia” karya Pramudya Anantatoer (terbit tahun 80-an) tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan seniman dan sastrawan. The Old yang mengagumi “kehebatan” karya Pramudya menuduh, film BM merusak novel legendaris itu. Majalah Tempo mengulas film BM dengan nada nyinyir.
“Film ini secara keseluruhan buruk kecuali peran Sha Ine Febrianti yang bisa menghayati dengan baik karakter Nyai Ontosoroh,” tulis wartawan tempo Leila S Chudori (Tempo 25/8/019). Karakter Minke yang diperankan Iqbal Ramadhan juga tidak tepat. Ia terlalu lembek dan kaku. Tidak menggambarkan Minke yang cerdas dan berani, tambah Leila.
Tapi bagi The Millenial, film ini bagus. Enak ditonton. Anakku dan teman-temannya usai menonton film BM yang berlangsung tiga jam, langsung mengacungkan jempol. “Bagus, saya mau nonton sekali lagi,” kata Joan, putriku yang masih kuliah tahun kedua di UNJ.
Sutradara Hanung Bramantyo memang mengakui film BM dibuat agar bisa menarik The Millenial yang kini menguasai jagad maya. Bukan untuk The Old yang belum move on. Itulah sebabnya, tokoh Minke diperankan oleh “Dilan” yang populer itu.
Temans, cobalah menonton film BM. Jangan terpengaruh nyinyiran kaum The Old (wkkk… aku sendiri The Old lo, tapi sudah move on dalam menilai film ini). Kesimpulan: film ini bagus, lucu dan menyegarkan. Juga membuka wawasan sejarah era kolonial di abad ke-18. Saking menariknya, terbukti selama tiga jam penonton tak bergeser dari tempat duduknya. Makin asyik lagi ketika saya menengok ke kiri kanan, ternyata Denny JA ikut menangis. Penyair Fatin Hamama pun terisak, terbawa alur cerita film BM. Padahal Denny dan Fatin termasuk the old generation. Bravo Hanung!
Satu-satunya kesalahan dari film ini (kenapa tidak selaris film Ayat-ayat Cinta dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy yang juga dibesut Hanung) — kata artis teater Monica JR — pemasarannya kurang bagus. Mestinya ada influencer seperti Ridwan Kamil atau Sherina yang mempromosikan kehebatan film BM. Setidak-tidaknya ada tokoh atau artis papan atas yang memuji film BM. Sekaligus mementahkan nyinyiran generasi The Old melalui medsos. Jutaan followernya niscaya akan tertarik dan menonton film yang luar biasa ini.
“Film BM adalah film Indonesia terbaik yang pernah aku tonton,” puji Monica. Setuju!
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment