by

Catatan Perjalanan: Dewi Seni di Louvre

-Denny JA-1,983 views

Loading…

KOPI, Jakarta – Jika Dewi Seni itu ada, dan ia akan singgah di bumi, dimanakah ia paling layak bermukim? Jawaban: di Louvre Art Museum di Paris.

Mengapa di Louvre? Karena di museum itulah aneka benda seni paling berharga disimpan dan dipamerkan.

Setidaknya, itu penilaian Forbes 2017. Majalah ini menurunkan esai studi Prof Cess BM Van Reel. Ia melakukan survei kepada 12.000 responden soal museum di 10 negara. Museum mana yang dianggap paling punya reputasi seni? Louvre Art Museum di rangking pertama.

Dilihat dari luas museum, Louvre juga paling luas. Ia berdiri di atas tanah 782, 910 m2. Itu sekitar 78 hektar. Area itu lebih luas dibandingkan semua museum di dunia. Termasuk jika ia dibandingkan dengan State Hermitage Museum di Rusia dan National Museum of China.

Dilihat dari jumlah pengunjung per tahun, Louvre dikunjungi paling banyak oleh sekitar 10 juta 200 ribu. Sementara museum lain, seperti National Museum of China dikunjungi oleh 8,2 juta per tahun. Metropolitan National Museum of Art di New York dikunjungi oleh
6, 9 juta per tahun.

Bangunan museum itu berdiri sejak abad ke 12 di era raja Philip II. Hingga hari ini, selama 900 tahun, bangunan itu menjadi saksi pertarungan politik dan perubahan peradaban. Setiap datang penguasa baru, berubah pula fungsi bangunan sesuai dengan imajinasi dan selera sang penguasa.

Awalnya bangunan itu sebagai benteng pertahanan melindungi Paris dari serbuan tentata Inggris. Ia lalu berubah menjadi tempat tinggal raja. Ia berubah lagi menjadi tempat raja menyimpan koleksi benda seni. Ia berubah lagi menjadi area para seniman kelas atas berkarya dan menginap.

Di tahun 1793 pertama kali bangunan itu menjadi museum seni. Tiga hari dalam seminggu publik luas dibolehkan datang ke museum. Awal koleksi hanya sejumlah 573 lukisan milik kerajaan dan gereja.

Kini di tahun 2019, koleksi museum sebanyak 460.000 benda seni. Koleksi berasal dari era 2000 tahun sebelum masehi hingga abad 21. Asal benda seni dari mesir kuno, seni Islam, hingga renaisance Eropa dan abad digital dunia modern.

Semua kriteria memenuhi syarat. Jika benar Dewi Seni itu ada dan ingin singgah di bumi, Museum Art Louvre yang paling layak menerima kehormatan itu.

-000-

Saya mengunjungi Museum seni Louvre di Paris, tahun 2011. Mendekati pintu masuk museum, saya sudah terkesima oleh piramida dari kaca setinggi 21 meter.

Ketika masuk museum, pemandu menyatakan saya harus menentukan sejak dini apa yang sangat ingin saya lihat. Sudah dihitung oleh ahli matematika, ujarnya. Jika saya melihat semua benda seni yang ada di museum, satu benda seni dilihat selama 30 detik, non-stop, tak jeda, maka dibutuhkan waktu 100 hari. Wow!

Secara cepat saya melihat brosur. Kepada pemandu, saya katakan saya ingin melihat benda seni yang paling tua. Itu pastilah berasal dari Mesir Kuno. Saya juga ingin melibat peninggalan seni Islam tua. Dan tentu saja seni abad pencerahan Eropa. Jika masih ada sisa waktu, saya akan putuskan kemudian.

Di bagian Mesir Kuno, saya berjumpa patung yang disebut the Seated Scribe: Juru tulis yang sedang duduk. Ia berasal dari tahun 2450-2325 sebelum masehi. Ini era 2400 tahun sebelum lahirnya Nabi Isa. Sekitar 3000 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad.

Patung itu dari batu (limestone), di atas tembaga. Ukuran patung hanya sekitar 53 cm x 44 cm. Tangan kirinya memegang semacam kertas papyrus tempat menulis. Tangan kanannya seperti hendak menulis.

Ujar pemandu, di tangan kanan patung itu sebenarnya memegang kuas untuk menulis di papyrus. Tapi kuas itu tak ditemukan.

Patung itu penting karena menjadi bukti. Betapa 4400 tahun yang lalu, peradaban Mesir sudah memiliki profesi juru tulis. Kepada mereka, peradaban berhutang budi. Begitu banyak yang bisa kita pelajari dari Mesir Kuno karena peninggalan kisah di naskah papyrus itu.

Di era itu, nenek moyang peradaban lain, mungkin masih berkeliaran di hutan berburu.
Sementara peradaban Mesir Kuno sudah merenung dan menuliskan kisah.

-000-

Koleksi peradaban Islam di Louvre Museum tak kalah mencengangkan. Ada sekitar 6000 benda seni dari dunia Islam.

Lama saya memandang salah satu naskah puisi yang mungkin terpanjang. Yang ditemukan hanya 3 lembar saja. Ia disebut Shahnameh, bahasa persia. Diterjemahkan menjadi the Book of Kings.

Dari brosur, terdapat informasi. Ia berasal dari abad kesepuluh. Aslinya terdiri dari 50 ribu kuplet. Ia dianggap puisi epik paling panjang yang terdapat dalam satu puisi. Ia gabungan dari fakta sejarah dan mitologi soal kerajaan Persia.

Merenungkan kembali puisi itu dari kaca mata di tahun 2019, saya pun tertawa. Ini mungkin sejenis puisi esai masa lalu. Ia begitu panjang. Pula gabungan antara fakta dan fiksi. Bedanya, saat itu belum ditemukan catatan kaki.

Yang paling populer, paling banyak dikunjungi tentu saja di bagian seni renaisance. Apalagi jika bukan karena ada lukisan asli Monalisa.

Sekitar 30 menit saya antri, agar bisa sampai di depan lukisan Monalisa, untuk bertatap- tatapan. Saya sudah terbiasa antri. Tapi baru kali itu, saya antri hanya untuk melihat lukisan.

Lukisan Monalisa lebih kecil dari yang saya duga. Ukurannya hanya 77 cm x 53 cm. Monalisa termasuk koleksi paling awal yang dimiliki oleh museum. Ketika museum ini dibuka pertama kali di tahun 1793, Monalisa sudah ada di sana.

Pengamanan lukisan Monalisa begitu ketat. Ia dilindungi dalam kaca anti peluru. Lama saya mengamati. Apa yang membuat lukisan ini begitu populer. Apa yang membuat orang banyak bersedia mengantri hingga 30 menit.

Senyum Monalisa memang terkesan berbeda. Hanya soal senyuman itu saja, sudah begitu banyak karya tulis dibuat.

Saya pun sempat turun ke bawah untuk melihat bangunan asli museum. Nampak semacam benteng tua berdiri kokoh. Awal museum memang adalah benteng untuk melindungi kota dari serbuan asing.

Usia bangunan itu sudah hampir seribu tahun. Ia menjadi saksi berubahnya bangunan dari kultur perang menjadi karya seni

-000-

Sekitar lima jam saya melakukan napak tilas peradaban. Berjalan dari peradaban 2000 tahun sebelum masehi, di Mesir, menuju peradaban Islam abad pertengahan, Eropa era Renaisance hingga zaman baru dunia digital.

Cukup lima jam napak tilas saya melewati 4000 tahun peradaban itu. Melakukan napak tilas sesingkat itu, untuk aneka peradaban, di satu waktu, di satu tempat, hanya mungkin dilakukan di museum.

Di museum tergambar perubahan satu peradaban menuju peradaban lainnya. Terbaca perubahan satu kekuasaan beralih pada kekuasaan lainnya. Politik yang memecah belah ataupun yang menyatukan sepanjang 4000 tahun, terkisahkan. Paham agama yang memisahkan atau yang mencerahkan, terpatri. Semua tersimpan dalam benda seni. Tinggallah kita menafsir dan mengambil hikmah.

Di museum seni yang besar, kita berhadapan dengan peradaban. Selam menyelam.***

Denny JA, Fonder LSI, Jakarta

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA