Oleh: Dr. Reni Marlinawati (Wakil Ketua Komisi X DPR RI/Fraksi PPP)
KOPI, Jakarta – Ada kalimat bijak: Jangan buat kebijakan tanpa kajian tuntas. Jika itu dilakukan, implikasinya akan kacau. Hal itulah yang tampaknya sedang terjadi pada kebijakan Kemendiknas soal PPDP (Penerimaan Peserta Didik Baru). PPDB merujuk pada Permendikbud No 20 Tahun 2019 menentukan bahwa jalur masuk sekolah milik pemerintah (sekolah negeri) harus melalui tiga jalur: melalui zonasi 80%, prestasi 15%, dan perpindahan domisili orang tua sebesar 5%.
Kami yakin, PPDB niatnya baik. Untuk memeratakan kualitas sekolah negeri di Indonesia. Kita tahu, persoalan kualitas sekolah negeri yang “njomplang” ini tidak hanya terjadi di antarpulau – seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua. Tapi juga terjadi di tingkat kabupaten dan kota madya. Bahkan di tingkat kecamatan. Saat ini, misalnya, di sebuah kecamatan, sudah ada puluhan SD, puluhan SMP, bahkan beberapa SMA. Di Pulau Jawa, misalnya, di satu kecamatan sudah ada lebih dari satu SMAN. Tentu saja, antara SMAN yang satu berbeda kualitasnya dengan SMAN yang lain.
Persoalannya, untuk memeratakan kualitas sekolah negeri di Indonesia itu tidak semudah membuat Permindikbud yang “berlaku instan”. Butuh waktu panjang. Saat ini, perbedaan kualitas sekolah negeri yang satu dengan lainnya itu fakta. Perbedaan itu muncul, antara lain, karena adanya perbedaan faktor hardware (gedung, laboratorium, fasilitas dal lain-lain) dan faktor software (cara mengajar, kualitas mengajar, dedikasi pengajar, dan lain-lain) di sekolah-sekolah bersangkutan. Perbedaan-perbedaan tersebut terlihat nyata oleh masyarakat. Dari situ, kemudian muncul asumsi (yang dibenarkan fakta) bahwa sekolah A kualitasnya lebih baik dari sekolah B.
Di pihak lain, tak sedikit pemerintah menganaktirikan sekaligus menganak-emaskan sekolah-sekolah tertentu di satu wilayah. Umumnya sekolah negeri yang sudah mendapat kategori bagus lebih banyak mendapat bantuan dari pemerintah setempat ketimbang sekolah negeri yang kualitasnya dianggap buruk. Fenomena tersebut tak hanya terjadi di Pulau Jawa, tapi juga di luar Jawa.
Kenyataan inilah yang akan didobrak pemerintah melalui sistem PPDP. Masalahnya, untuk mendobrak fenomena tersebut tidak semudah membalikkan tangan. Pemerintah, misalnya, perlu memetakan kualitas sekolah. Jika dalam satu daerah kualitas sekolahnya antara satu dengan yang lain terlalu jauh, sistem zonasi akan menimbulkan masalah.
Setiap orang tua niscaya ingin mennyerahkan anaknya di sekolah yang berkualitas. Jika sekolah yang berkualitas itu tempatnya di luar zonasi, maka berbagai hal akan terjadi. Misalnya, manipulasi domsili. Manipulasi ini niscaya diikuti manipualasi yang lain seperti suap menyuap dan konspirasi antara sekolah dan pejabat terkait.
Masalah zonasi, misalnya, ternyata tidak mudah menetapkannya. Suatu lokasi, misalnya, dekat dengan sekolah. Tapi ternyata, dalam administrasi daerah, lokasi itu beda kecamatan atau kabupaten. Ini banyak terjadi di berbagai daerah. Di wilayah Surakarta, misalnya, ada anak yang akhirnya tidak dapat sekolah terdekat. Malahan berdasarkan zonasi, ia dapat sekolah yang lebih jauh tempatnya. Padahal zonasi awalnya ingin memperpendek jarak antara rumah siswa dengan sekolah.
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (DPW Sulawesi Selatan) di DPR juga melaporkan kasus kisruhnya sistem zonasi tersebut di daerahnya. Dilaporkan, akibat pemberlakuan sistem zonasi, penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri makin kacau (2/07/2019). Menurut mereka sistem zonasi menjadikan sekolah-sekolah berkualitas justru menurun mutunya. Di samping itu, soasialisasi sistem zonasi yang kurang, menjadikan semua pihak – sekolah, orang tua, dan dinas pendidikan — kebingungan.
Sistem zonasi tujuannya memang untuk memeratakan kualitas sekolah. Di samping untuk memberikan akses terbaik dan termudah bagi anak didik untuk mendapatkan sekolah yang bagus. Tapi di lapangan, persoalannya terlalu kompleks. Pemerintah belum melakukan kajian empiris dan komprehensif untuk menerapkan sistem zonasi tersebut. Kebijakan tersebut masih terasa di “angkasa” – belum menginjak di bumi. Pemerintah mengasumsikan bahwa meningkatkan kualitas sekolah negeri di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu dan meningkatkan kualitas guru yang jumlahnya jutaan bisa dilaksanakan secara instan.
Mestinya di samping sosialisasi yang intens tentang sistem zonasi, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas SDM guru-guru negeri yang melaksanakan proses ajar dan mengajar di sekolah-sekolah tersebut. Jika tidak, kebijakan sistem zonasi tidak akan berhasil meningkatkan kualitas sekolah. Malah sebaliknya, akan menurunkan kualitas sekolah-sekolah unggulan yang telah ada.
Dan, last but not least, sekolah-sekolah agama Islam – seperti pondok pesantren dan madrasah — perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Karena sekolah-sekolah tersebut selama ini kurang mendapat perhatian serius. Baik dalam pembangunan hardware maupun softwarenya. Padahal sekolah-sekolah kegamaan itu jauh lebih tua kehadirannya dibanding sekolah-sekolah negeri. (*)
Kunjungi juga website kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment