by

Ulang Tahun yang Sepi (1)

Loading…

KOPI, Jakarta – Hari ini, 15 Juli, aku berumur 60 tahun. Aku sengaja diam. Yuli, istriku, agaknya sampai jam 21 malam ini, tak ingat ultahku. Anak-anakku juga tak ada yang ingat. Padahal, malam ini aku ajak putrakaku Santana, 17 tahun, makan di di Mie Hot Plate kesukaannya. Aku diam saja, membiarkan Santana makan mie kesayangannya. Bela, 7 tahun, minta martatabak keju susu Alim. Neng, makan Kwietiau hot plate yang aku bawa dari resto Mie Hotplate.

Sampai artikel ini aku tulis, orang rumah masih belum ada yang “ngeh”. Dan aku membiarkannya. Karena, kondisi inilah yang aku suka. Biarkan ultahku yang ke-60 ini kunikmati dengan sepi. Karena sepi adalah musik dan suasana terindah dalam kehidupan. Aku tak mau kesepian berlalu tanpa aku nikmati penuh di hari ulang tahunku.

Usia 60 adalah sesuatu. Di usia itu, aku akan dapat prioritas tempat duduk kalau naik KRL, TransJakarta, dan MRT. Di usia 60, aku akan dapat KTP seumur hidup. Di usia itu, setiap orang akan menghormatiku, minimal sebagai lansia. Di usia 60, aku dapat harga diskon makan di beberapa resto.

Usia 60 adalah usia terindah dalam hidup manusia. Manusia mulai matang dan dewasa, kata Walsch, di usia 60. Itulah sebabnya, anak-anak kecil merasa nyaman berada di pelukan orang berusia 60. Anak kecil akan berhasil kalau diasuh orang berusia 60 tahun ke atas. Seperti Obama yang sendirian, diasuh oleh neneknya. Tanpa asuhan sang nenek, Obama tak akan jadi apa-apa.

Bagiku usia 60, adalah kesempatan emas untuk menyebarkan kebaikan dan kebijakan hidup untuk sesama manusia. Melalui tulisan, satu-satunya kemampuanku yang leading, aku ingin menyebarkan kebaikan dan kebijakan. Aku ingin menjadi seperti para nabi dan mistikus: memandang hidup dengan optimisme bumi dan cahaya langit.

Usia 60, bagiku adalah sesuatu yang banget! Aku telah melalui masa kecil yang indah di sebuah kampung, Desa Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Cirebon. Dulu, waktu kecil, aku suka bermandi ria telanjang bulat di sungai Ciwaringin bersama teman-teman. Aku paling senang membuat gundukan pasir dan cari udang sambil mandi. Biasanya udang ada di sela-sela batu. Hasilnya, aku bawa pulang untuk lauk pauk di rumah. Bila sungai banjir, aku main balon-balonan. Loncat dari jembatan sambil menggelembungkan sarung. Lalu, aku bersama balon sarung, terbawa air banjir sambil tertawa ria. Nikmatnya seperti naik perahu.

Sehari-hari aku jarang tidur di rumah. Tidurnya di tajug atau mushala. Tidur di tajug ini untuk menghemat waktu karena ketatnya jadwal mengaji. Salat Subuh adalah keharusan. Kalau tak bangun Subuh akan diguyur air. Usai mengaji habis salat Subuh, aku langsung lari ke sawah, memburu jangkrik dan genggong yang berbunyi nyaring. Aku sempat berpikir, kenapa orang dewasa tak suka jangkrik dan genggong? Padahal, memburu jangkrik dan genggong di bongkahan tanah sawah, sangat asyik dan seru. Genggong dan jangkrik ini, kemudian aku masukkan ke dalam botol. Tak ada yang lebih indah dalam hidup saat itu selain mendengar krik-kriknya jangkrik dan gengong. Ia bernyanyi sambil menggetarkan sayapnya yang indah.

Di SD, sampai kelas dua, aku tak mengerti apa-apa. Apa isi mata pelajaran di sekolah, aku tak tahu. Mungkin karena aku dimasukkan SD oleh orang tua di usia terlalu muda, 5 tahun. Aku baru bisa menyerap pelajaran di SD ketika kelas lima dan enam. Gurunya, kelas lima dan enam, adalah ayahku sendiri. Baru di kelas lima dan enam itulah, aku paling sering pulang awal kalau ada tes matimatika. Aku mahir mengerjakan sipren. Dan hadiahnya, pulang duluan dibanding teman-teman yang tak bisa mengerjakan sipren.

Pulang SD, aku langsung masuk madrasah Ibtidaiyah. Di madrasah aku sering ketakutan karena guru mengharuskan mata pelajarannya dihapal luar kepala. Apalagi kalau hari Sabtu. Keringat dingin mengucur deras karena takut tak bisa menunjukkan hapalan di depan guru. Kalau gagal menghapal pelajaran tasripan atau jurmiyah, misalnya, langsung disuruh berdiri, berjam-jam di atas batu.

Habis Maghrib, aku mengaji Al-Quran sampai Isa. Bakda Isya, mengaji lagi, kadang kitab Safinah, Khulaso Nurul Yaqin, dan kitab-kitab kuning lainnya. Belajarnya sambil ndakom (telungkup santai) di lantai, menggunakan pen yang dicelupkan di tinta buatan sendiri. Bau tintanya kadang bacin karena sengaja dicampur kain atau kapas agar pennya tidak terlalu basah. Kain dan tinta yang lama “berselingkuh” itu baunya bacin. Tapi justru itulah uniknya. Kalau baunya tak bacin, tintanya kurang hitam.

Tiap malam Jumat, santri harus ikut marhabanan. Aku paling suka kalau sudah berdiri membaca salawat dengan suara melengking. Marhabanan adalah seni kaum santri dalam melantunkan lagu-lagu salawatan. Usai marhabanan, biasanya ada latihan khitobah atau latihan pidato di mimbar. Temanya bebas. Latihan khitobah inilah yang mengasah para santri untuk menjadi penceramah. Ceramah kaum santri itu khas. Di tengah-tengah ceramah, ada bacaan tilawah Quran (orang Tegalgubug menyebutnya ngereng), kadang menyanyi dangdut, dan diakhiri dengan doa-doa yang sahdu. Saat aku kecil, penceramah terkenal di Cirebon adalah Kyai Fuad Hasyim dari Buntet. Kyai Amin Trondol dari Babakan. Sedangkan penceramah besarnya adalah Kyai Bisri Sansuri dari Rembang. Hampir tiap tahun, Kyai Bisri diundang berceramah di Tegalgubug. Orang Tegalgubug senang kyai Bisri karena mereka akan diajak masuk sorga. Caranya ikut menggandeng tangan Kyai Bisri. Kyai Bisri masuk sorga karena menggandeng (gocekan tangannya) Kyai Hasyim. Kyai Hasyim masuk sorga karena menggandeng tangan Kyai Kholil. Terus, mereka para ulama saling menggandeng dengan guru-gurunya, yang ujungnya menggandeng tangan Nabi Muhammad.

Gandeng-menggandeng tangan para ulama inilah yang kemudian terkenal dengan istilah wasilah. Di kalangan santri, ilmu agama itu ada rujukan nasabnya. Siapa gurunya, siapa mbah gurunya, di mana ujungnya sampai kepada para sahabat Rasul. Dengan demikian, ilmu agama itu punya pijakan, punya panutan, sehingga tak bisa menafsirkan Quran dan hadist seenaknya.

Fenomena “saling menggandeng” ulama inilah yang kini hilang. Ilmu agama terputus nasab dan wasilahnya. Banyak orang sekarang belajar agama dari buku-buku kaki lima. Di buku-buku kaki lima ini tafsir hadis dan Quran yang aneh-aneh muncul. Di dunia santri, belajar agama tidak seperti itu. Harus ada runutan dan silsilah gurunya. Tanpa itu, ilmu agamanya dianggap liar! Apakah muncul ekstrimisme dan fanatisme buta sehingga Islam kelihatan bringas itu berasal dari ilmu-ilmu agama kaki lima itu? Wallahu a’lam. (Bersambung)

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA