Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso (Dosen Fakultas Kehutanan/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB Bogor)
KOPI, Bogor – Indonesia menangis. Sutopo Purwo Nugroho (SPN) — tokoh yang tak kenal lelah menginformasikan hal ihwal tentang bencana alam di Indonesia meninggal Ahad pagi (7/7/019) di Guangzho, Cina dalam usia 49 tahun. Penyakit kanker paru-paru yang menjangkitnya, merenggut nyawa SPN tanpa kompromi. SPN — Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) — pergi meninggalkan jejak yang sangat berharga dalam memitigasi, menganalisis, dan menaggulangi bencana alam di Indonesia — negeri yang dilalui “ring of fire” terpanjang di dunia.
Kepergian SPN – alumnus UGM dan IPB tersebut — seakan memperingatkan kita bahwa penyakit dan bencana tidak berdiri sendiri. Banyak aspek yang saling terkait dalam melihat bencana sehingga penanganannya juga membutuhkan pendekatan multidimensi.
Banyak kolega SPN bertanya: kenapa ia yang antirokok terkena kanker paru-paru – sebuah penyakit yang terkenal akibat merokok? Jawabnya, karena lingkungan. Bisa jadi, SPN yang antirokok, terpapar nikotin karena asap rokok teman atau lingkungannya. Dan ini yang sulit dihindari. Dalam pesan-pesannya, SPN yang antirokok terlihat sangat “dislike” kepada perokok. Tapi karena faktor lingkungan, paparan nikotin terhadap dirinya dari perokok, tak terhindarkan.
Apa yang menimpa SPN, itu pula yang terjadi di kehidupan manusia dan alam. Banyak bencana yang muncul akibat suatu dampak yang tak terhindarkan, baik secara alamiah maupun rekayasa manusia. Indonesia sering tertimpa bencana vulkanik, misalnya, itu tak terhindarkan karena posisi geomorfologi Indonesia memang berada di jalur ring of fire (jalur gunung berapi). Indonesia juga terkena bencana global warming akibat “keserakahan dan rekayasa” manusia seperti pembangunan pabrik yang polutif (melepas gas rumah kaca), pembabatan hutan untuk industri kertas, dan mengekstraksi bahan tambang di hutan lindung. Semua itu berdampak pada kemunculan bencana alam.
Indonesia, misalnya, adalah negara yang rawan bencana. Letaknya yang membujur sepanjang jalur ring of fire, menjadikan Indonesia rawan terhadap gempa dan letusan gunung berapi. Sejarah mencatat letusan gunung berapi sangat dahsyat pernah terjadi di Indonesia, seperti letusan Gunung Karakatau, Banten (1883) dengan korban tewas 36.000 orang; Gunung Tambora, Sumbawa, NTB (1815) dengan korban tewas 900.000 orang; dan yang paling dahsyat adalah ledakan Gunung Toba Purba 500 ribu tahun lalu hingga terbentuk Kaldera Danau Toba. Letusan Gunung Toba Purba ini demikian dahsyat sehingga bumi mengalami kegelapan total akibat cahaya matahari tertutup debu letusan sampai beberapa tahun. Korbannya tak hanya jutaan manusia. Tapi juga hancurnya jutaan spesies global akibat ketiadaan cahaya matahari dalam jangka panjang tersebut.
Selain itu, puluhan bahkan ribuan bencana alam — seperti tsunami, gempa tektonik, gempa vulkanik, dan lain-lain — telah terjadi di Indonesia yang terkait dengan posisi geologi wilayah nusantara. Di pihak lain, Indonesia kini merasakan “bencana” global warming akibat dari perbuatan manusia, terutama pembangunan industri di negara-negara maju.
Dari perspektif itulah, Indonesia membutuhkan peta kebencanaan yang komprehensif dengan meninjau berbagai aspek baik dari segi geologis, geografis, klimatologis, vulkanologis, dan lain-lain. Dari situ, terlihat masalah penanggulangan bencana membutuhkan pendekatan yang multidimensi.
SPN telah berusaha meletakkan dasar mitigasi dan penyelamatan korban bencana dengan pendekatan data dan analisis ilmiah. Sesuatu yang sebelumnya langka. Itulah sebabnya kenapa SPN mendapat anugrah sebagai tokoh Asian of The Year 2018. Itu karena dedikasinya yang luar biasa pada penanggulangan bencana berbasis data ilmiah tersebut.
SPN menjadi “pengawal” penanggulangan bencana dengan memberikan data dan analisa. Sebuah kerja besar yang penuh tantangan karena data kebencanaan terus merangsak dunia ilmu pengetahuan tanpa henti dan terus berubah. Tragisnya, jika pun ada perubahan, maka perubahan tersebut, menuju ke arah destruksi.
Hari-hari ini, misalnya, tengah terjadi kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia. Kemarau yang menyengat dan hilangnya sumber air, menjadi bencana rutin tahunan, yang kondisinya makin tahun makin parah. Di Gunung Kidul, misalnya, 10 kecamatan: Girisubo, Rongkop, Purwosari, Tepus, Ngawen, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, dan Paliyan sedang menjerit karena kekeringan. Kepala BPBD Gunungkidul Edi Basuki, menyatakan, tahun 2019 kekeringan lebih parah dari pada tahun 2018 dan 2017.
Di pihak lain, Sungai Brantas, Bengawan Solo, Kali Cimanuk, dan Kali Citarum airnya terus menyusut. Sejumlah anak sungai dari sunga-sungai besar tersebut sudah mengering. Sementara di tingkat global, hamparan salju di tiga kutub bumi – Arctik (kutub utara bumi), Antarctic (kutub sulatan bumi), dan Mount Everest (Puncak Himalaya, kutub atas bumi) kini mulai menghilang. Menghilangnya salju di Mount Everest, misalnya, akan menuyurutkan air di sunga-sungai besar di wilayah Hindustan dan Indocina seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Indus, Irawady, Yang Tze, Mekong dan ratusan anak sungainya. Jika sungai-sungai di Asia Selatan tersebut mengering, ratusan juta manusia akan kekurangan air dan tewas mengenaskan dalam beberapa tahun mendatang.
Hutan tropis Indonesia, misalnya, dikenal sebagai paru-paru bumi yang mensuplai oksigen ke seluruh dunia. Ironisnya, oksigen dari hutan tropis Indonesia yang disuplai ke seluruh dunia ini, dibayar dengan mengalirnya udara buruk penuh polisi dari kota-kota polutif seperti Bombay, New Delhi, Bangkok, Beijing, bahkan dari kota yang amat jauh seperti Boines Aires dan Los Angeles. Pukulan telak dari global warming pun tak terelakkan menimpa nusantara. Kekeringan, kebanjiran, badai, dan gelombang laut tinggi, berkali-kali menghantam wilayah Indonesia. Siapa yang harus kita salahkan?
Seperti kata David Suzuki, environmentalis Kanada, tak ada kekuatan apa pun yang sanggup menghentikan aliran udara dari satu tempat ke tempat lain, baik antarnegara maupun antarbenua. Karena itulah, bencana alam akan selalu menguntit kita di mana pun, jika kita tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kelestarian planet bumi. Sekecil apa pun kebaikan kita terhadap alam, dampaknya bersifat global.
Akhirnya, harus kita sadari, bencana akan selalu menguntit kita. Manusia tak bisa menghindari bencana alam yang tak terhindarkan. Tapi manusia bisa menghindari bencana alam akibat rekayasa orang-orang serakah. SPN niscaya tahu hal-hal tersebut. Dan ia telah berhasil menghimpun data-data lapangan dan data-data kajian ilmiah secara komprehensif.
Kini, SPN telah pergi meninggalkan kita semua. Ia telah mewariskan saesuatu yang amat berharga kepada bangsa Indonesia. Yaitu data-data kebencaan dan penaggulangannya untuk keselamatan manusia berdasarkan penilitian lapangan dan kajian ilmiah berkesinambungan.
Selamat jalan Pak Sutopo. Semoga pengabdianmu untuk kemanusiaan mendapat imbalan Tuhan yang sepadan di surga yang indah dan tak berkesudahan.
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment