KOPI, Jakarta – Idealnya, seorang hafidz (hapal Qur’an) adalah juga ilmuwan, berpikir analitis, rasional, dan berwawasan. Seperti Ibnu Sina (kedokteran), Al-Jabbar (matematika), atau Al-Battani (astronomi). Mereka — di samping hapal Qur’an — juga mengeksplor ilmu pengetahuan, sehingga bangsa Eropa yang masih percaya takhyul saat itu terkejut. Bayangkan, Ibnu Sina saat itu sudah meyakinkan orang Eropa bahwa penyakit demam dan mules timbul karena bakteri. Sementara orang Eropa saat itu mengaggapnya, penyakit tersebut muncul karena demit/jin. Al-Jabbar, misalnya, berhasil memfungsikan angka “nol” yang tak dikenal dalam angka romawi. Tanpa angka nol, mungkin perkembangan iptek tak semaju sekarang. Sementara Al-Battani berhasil membuktikan peredaran benda-benda kosmos, termasuk bumi yang mengelilingi matahari.
Apa yang dicapai para ilmuwan Islam yang hapal Qur’an itu, luar biasa! Tapi ingat, prestasi mereka yang tercatat sejarah bukan karena hapal Qur’annya. Tapi karena mindset mereka yang berpikir bahwa Tuhan menciptakan sesuatu tidak sia-sia dan melalui perhitungan yang tepat (adil). Artinya, ada ilmu pengetahuan yang bisa digali dari ayat-ayat suci. Dan mereka berhasil membuktikannya secara ril.
Persoalannya, jika seseorang hanya sekadar hapal Qur’an tanpa ada semangat menggali iptek — di zaman sekarang, apa kelebihannya dibandingkan flashdisc atau aplikasi yang disetting untuk menghapal Qur’an?
Betul, menghapal Qur’an itu bukan hal mudah. Ribuan ayat harus dihapal luar kepala. Butuh energi untuk menghapalkannya! Tapi di zaman teknologi digital sekarang ini, apakah hapalan Qur’an bisa menjadi “pintu gerbang” untuk menguasai iptek? Menguasai teori fisika kwantum, matematika kompleks, dan teori fusi yang penuh perhitungan matematika dan fisika?
Dulu masih ada manusia sehebat Ibn Sina, Al-Jabbar, dan Al-Battani. Saat itu, iptek belum semaju sekarang sehingga memungkinkan orang bisa mempunyai beberapa keahlian sekaligus. Tapi sekarang? No way! Satu keahlian untuk mendesain genetic mapping saja, butuh studi dan riset puluhan tahun. Sangat fokus. Rasanya sulit bila hal itu kudu dibarengi hapalan Qur’an. Cukuplah Qur’an sebagai motivator yang menggerakkan orang Islam untuk maju bersama saintek.
Saat ini, di kalangan muslim Indonesia, ada semacam gelombang baru — menginginkan orang Islam hapal Quran. Beberapa perguruan tinggi negeri seperti IPB dan UNES (semarang) menerima calon mahasiswa baru tanpa tes dengan sarat hapal Qur’an. Ini fenomena aneh. Karena di beberapa ponpes khusus tahfidz, ada anak berusia 7 tahun yang hapal Quran. Apakah mereka bisa masuk PTN tersebut? Kalau hanya itu persaratannya tanpa kualifikasi kemampuan rasio dan ilmu pengetahuan umum, mampukah mereka mengikuti kuliah? Mungkin kalau kuliahnya (maaf) di ilmu-ilmu sosial yang relatif banyak hapalan, mereka bisa mengikuti meski logikanya kurang. Sekadar menhapal teks. Tapi di perguruan tinggi, itu pun tak cukup. Teks hanya pijakan. Selebihnya logika, bacaan, dan wawasan.
Lantas bagaimana di bidang eksakta seperti tehnik kimia, sipil, arsitektur, metalurgi, fisika nuklir, matematika terapan, kumputer, dan geofisika? apakah mereka bisa mengikuti? Tanpa kemampuan analisis rasional dan matematis, disertai otak yang encer, tampaknya sulit para hafidz mengikutinya. Kalau pun ada, itu keistimewaan yang luar biasa. Mungkin IQ-nya 195, di atas Einstein (190). Sangat langka.
Temanku, Fulan, dosen IPB University, pernah menjelaskan: seorang hafid pastilah pinter karena mampu menghapal Quran. Aku jawab, aku lebih suka mendengar hapalan Quran dari flasdisc dan komputer ketimbang hafiz karena aku bisa mengulangnya sesuai keinginanku tanpa rikuh! Sang dosen diam.
“Tahukah anda pejabat negara yang pernah menggali kuburan kramat di Bogor untuk mendapatkan bongkahan emas itu dari zaman Kerajaan Pajajaran adalah seorang hafidz yang mumpuni?” Dosen itu melongo.
“Mas, aku tak setuju IPB punya peraturan yang meloloskan calon mahasiswa tanpa tes asal hapal Qur’an”. Ini bukan soal rasis atau islam liberal. Justru ini, alasan islami. Biarkan seseorang menekuni bidangnya secara spesifik. Ini zaman modern. Perlu spesialisasi. Biarlah para hafidz menekuni Quran dengan segala macam seluk-beluknya. Kita hormati. Berilah kesempatan anak-anak muda yang berbakat dalam ilmu-ilmu eksakta (yang umumnya benci hapalan) mengembangkan ilmunya di perguruan tinggi umum dan tehnik.
Bukankah ada hadis yang menyatakan, bahwa bila suatu persoalan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran datang kepadanya?
Temanku sang dosen IPB itu hanya meringis. Ia memang sedang semangat-semangatnya belajar Islam. Pinjam istilah teman FB-ku, Ahmad Musta’in — temanku ini memang sedang kemaruk Islam. Dia baru belajar Islam belakangan, karena dulu abangan. Sikap rasionalnya terkalahkan oleh kemaruknya.
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment