by

Catatan Simon Syaefudin – In Memoriam Purwadi Tjitrawiata Pelobi Ulung di Belakang Layar Republika

Purwadi Tjitrawiyata (kiri) berfoto bersama Petinju Muhammad Ali

KOPI, Jakarta – Ketika SBY masih Kassospol  ABRI,  aku diajak Mas Pur – panggilan akrab Purwadi Tjitrawiata, wartawan senior harian Republika – untuk ikut menghadiri ceramah SBY di Markas Kopassus, Cijantung. Sebgai wartawan junior, saya terkagum-kagum dengan isi ceramah SBY yang luar biasa, menggambarkan Indonesia masa depan di tengah geopolitik internasional yang makin dinamis. Dan aku tambah kagum lagi setelah mengetahui kedekatan SBY dengan Mas Pur.

“Simon, percayalah, SBY adalah presiden masa depan Indonesia,” kata Mas Pur. Aku kaget. Kok bisa?  Bukankah dalam sejarah Indonesia, tak pernah ada presiden muncul dari orang Kasssospol? Bukankah Kassospol tak punya pasukan organik bersenjata sebagaimana halnya Pangkostrad? Suharto saat menumpas PKI dan kemudian menjadi presiden, berawal dari Pangkostrad.

Mas Pur diam. Ia tetap yakin, SBY akan jadi presiden. “Firasatku begitu, Simon. Aku yakin sekali SBY akan jadi presiden. Ia pinter. Wawasannya luas. Posturnya besar. Wajahnya ganteng. Suaranya berwibawa. Ia pantas jadi presiden RI,” ujarnya meyakinkanku 

Saat itu, pangkat SBY masih Mayjen. Namanya juga belum terkenal. SBY baru terkenal setelah diangkat jadi Mentamben (Menteri Pertambangan dan Energi) oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Saat jadi Mentamben, aku pun pernah diminta Mas Pur  untuk mengikuti ceramah SBY di Hotel Darmawangsa, Blok M.

“Mentamben hanya jabatan antara, Simon. SBY akan jadi presiden,” lagi-lagi Mas Pur memprovokasi aku agar memperhatikan ucapan-ucapan SBY.

Karena pulang searah ke timur, aku sering numpang mobilnya. Suatu ketika, aku diajak Mas Pur ke sebuah ruko dekat Pancoran. Ia ingin memperlihatkan proyek buku yang sedang digarapnya bersama Usama Hisyam. Di ruko itu, aku diperkenalkan kepada Usama Hisyam, seorang wartawan (Media Indonesia) yang pernah jadi anggota DPR Fraksi PPP. Bersama Mas Pur, tampaknya Usama Hisyam sedang membuat buku spektakuler. Judulnya: SBY Sang Demokrat.

Benar saja, ketika buku itu diluncurkan, nama SBY pun meroket. Tak lama kemudian, kita tahu, SBY terpilih jadi presiden Ia mengalahkan Megawati Sukarnoputri, yang saat itu sangat populer, melalui kendaraan Partai Demokrat.

Baru aku sadar, Mas Pur ternyata punya feeling yang tajam. Ketajaman feelingnya terasah karena Mas Pur dekat dengan berbagai kalangan. Dekat dengan politisi, cendekiawan, militer, dan ulama.

“Dulu saya tidur bersama-sama Yusril dan Jimly di masjid Al-Azhar,” cerita Mas Pur. “Aku sering diskusi dengan mereka,” lanjutnya.

“Kenapa Mas Pur tidak ikut mereka? Andaikan ikut mereka, mungkin Mas Pursuda jadi orang top,” kataku. Saat itu, Yusril Ihza Mahendra jadi Menhukham. Sedangkan Jimly As-Shiddiqie menjadi tokoh nasional dengan seabreg jabatan.

“Tidak Simon. Biarlah aku seperti ini. Aku lebih baik jadi orang kecil dan sederhana,” ujarnya.

Aku sangat dekat dengan Mas Pur. Kedekatannya bermula karena aku sering gagal membuka komputer lantaran tak punya “Dos”. Dan Mas Pur adalah pemegang “Dos” paling helpful di Republika. Zaman dulu, komputer sebelum dioperasikan untuk menulis berita atau artikel, harus dibuka dengan “Dos”. Kedekatan berikutnya karena kami sering pulang bareng. Aku numpang mobilnya Mas Pur, Jimny warna hijau. Aku sendiri, jarang bawa mobil.

Bagiku, Mas Purwadi adalah konsultan banyak hal. Dari soal dos, mencari berita, mencari narasumber, sampai mencari jodoh. Untuk yang terakhir, baru aku tahu, Mas Pur sering menjadi “mediator” jodoh antarwartawan dan karyawan Republika.

“Mas Pur, sebenarnya aku dulu naksir sama X  lo, wartawati yang langsing dan cantik itu,” kenangku ketika pulang habis reuni mantan wartawan Republika di rumah Anif Punto Utomo di Lenteng Agung. Aku berkata demikian, karena saat itu Si X datang ke Reuni dan masih cantik. Saat itu aku sudah menikah.

“Kenapa  dulu gak bilang ke aku? Andaikan bilang, akan kubujuk agar X mau dengan Simon,” ujarnya. Aku baru sadar, waktu itu aku gak cerita kepada Mas Pur soal wartawati yang aku taksir yang duduknya seberang meja kerjaku. Saat itu, aku memang gak berani ngomong. Juga gak berani PDKT. Cinta terpendam gitulah. Sampai akhirnya mundur teratur dan ketemu jodoh gadis dari Tasikmalaya. Makanya kalau ketemu dengan X  di reuni, aku sering ngledek dia.

“Kau tetap cantik meski anakmu uda besar-besar. Aku dulu mengagumimu lo,” ujarku. Dia tersenyum. Jodoh memang sudah ada yang mengatur. Di Republika, mungkin Mas Pur ikut menjadi “tangan Tuhan” yang mengatur jodoh teman-temin.

Suatu ketika teman akrabku, Agus, datang ke rumah. Ia minta tolong untuk menghentikan perseteruannya dengan seorang anggota paspampres berpangkat Letda. Agus bertetangga rumah dengan Z, anggota paspampres, di Bekasi. Suatu ketika antara Agus dan Z terjadi perselisihan soal keramaian pesta di rumah sang Letda. Anggota pasukan Paspampres ini marah-marah dan mengancam Agus. Ia ketakutan dan datang ke rumahku minta tolong agar menegur Z. Agus mengira, sebagai wartawan aku bisa menceritakan masalahnya ke tentara yang pangkatnya lebih tinggi dari Z.

Seketika aku ingat Mas Purwadi. Aku pun cerita masalah Agus. Mas Pur langsung kontak by phone dengan Komandan Paspampres, Mayjen L. Dua hari kemudian Agus datang menemuiku.

“Terimakasih Mas Simon. Anggota Paspampres tetanggaku sudah nunduk-nunduk minta maaf. Dia dimarahi komandannya.”

“Kamu harus berterimakasih kepada Mas Purwadi Tjitrawiata. Dia yang menolongmu. Bukan aku,” kataku pada Agus.

Itulah sekelumit kehidupan Mas Pur, wartawan senior pelobi ulung yang kesabarannya tingkat dewa. Aku sering pulang bareng dengannya karena ingin menimba ilmu hikmah dari pengalaman hidupnya yang amat kaya.

Selamat Jalan Mas Purwadi. Semoga dengan kebaikan lobimu dan kesabaranmu, Allah akan memberimu tempat terbaik di surga. Insya Allah, aku akan datang mengantarmu besok ke tempat peristirahatan terakhir!

Kunjungi juga website kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA