by

Arswendo dan Eksperimen Toleransi yang Gagal

Arswendo Atmowiloto (Alm)

Loading…

KOPI, Jakarta – Manusia menciptakan sejarah. Dan sejarah adalah dialektika kehidupan. Bila kehidupan “berimpit” dengan seorang tokoh pada masanya; maka sejarah pun akan mengikuti gerak langkah sang tokoh tersebut.

Itulah hukum “alam dan kehidupan” — mengikuti kemauan sang pengendali, bila tidak ada martir yang berani untuk mengungkapkan kebenaran dari hukum yang manipulatif. Dan Arswendo telah menjadikan dirinya sebagai “martir” untuk membongkar manipulasi itu. Berani mengungkapkan hukum alam dan kehidupan yang manipulatif di Indonesia melalui siginya (pollingnya) di tabloid Monitor. Akibatnya, kita tahu: Arswendo menjadi korban kegagalan eksperimentasinya sendiri menghadapi konflik rejim – antara rejim negara dan rejim agama.

Kira-kira itulah gambaran tragedi besar yang pernah mendera Arswendo Atmowiloto di tahun 1990-an, ketika membuat polling 50 tokoh populer Indonesia di tabloid Monitor. Kita tahu, Monitor edisi 15 Oktober 1990 menampilkan hasil pollingnya dengan tajuk “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca” Polling ini mempersilahkan pembaca Monitor untuk memilih tokoh yang paling dikagumi dengan cara mengirimkan kartu pos ke redaksi. Hasilnya, Presiden Soeharto di peringkat teratas dengan 5.003 suara. Urutan berikutnya adalah Habibie, Sukarno, Iwan Fals, Zainudin MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Mbak Tutut, dan Arswendo sendiri.

Hasil polling itu ril. Tak ada penggelapan data. Yang jadi masalah ketika para pembaca Monitor menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-11 dari 50 tokoh populer tersebut.

Akibatnya, umat Islam meradang. Karena tokoh pujaannya ditempatkan di bawah Arswendo. Dan Arswendo menjadi kambing hitam dari hasil polling itu.

Apa yang salah dari opini pembaca Monitor? Tak ada. Presiden Soeharto pada tahun 1990-an memang pengaruhnya “lebih besar” dari Nabi Muhammad di Indonesia. Jika kebesaran Muhammad hanya berada dalam ucapan kaum muslimin Indonesia, kebesaran Soeharto saat itu berada dalam setiap ucapan dan tindakannya di seluruh Indonesia. Pinjam istilah Salim Said – Guru Besar Universitas Pertahanan — jangankan manusia, setan dan malaikat pun saat itu takut kepada Soeharto. Prof. Hermawan Sulistryo menggambarkan, mata-mata Soeharto di era 80-90-an, tidak hanya manusia, tapi tembok, pohon, dan udara pun jadi mata-matanya. Tak ada orang yang akan mampu lolos dari radar Soeharto.

Terbayangkah, saat itu jika polling Monitor menempatkan Soeharto di bawah Habibie (nomor dua), Sukarno (3), Iwan Fals (4), Zainudin MZ (5), dan Try Sutrisno (6)? Pasti kena gebuk Soeharto. Maka menempatkan Soeharto sebagai tokoh paling dikagumi adalah sebuah bentuk salvation yang rasional. Persis seperti ketika Firaun mengumumkan bahwa semua perempuan Mesir yang punya anak lelaki harus dibunuh. Maka Sungai Nil pun penuh mayat bayi laki-laki mengambang. Hanya satu anak laki-laki yang selamat: Musa. Itu pun karena bujukan permaisurinya agar anak itu dipungut dan dijadikan anak angkat di istana Firaun.

Soeharto adalah seorang yang percaya messianisme dalam kultur Jawa. Dalam sebuah diskusi, Salim Said menceritakan, Ibu Tien menganggap Pak Harto adalah titisan dewa yang ditakdirkan menjadi raja Jawa terbesar yang membangun Jawa Dwipa. Dan Soeharto berhasil mengukuhkan dirinya sebagai “Raja Jawa Dwipa Nuswantara” terlama di bumi persada.

Dari perspektif inilah kita bisa memahami kenapa pembaca Monitor menempatkan Soeharto sebagai tokoh paling dikagumi nomor satu. Secara sosial politik saat itu, pilihan tersebut adalah niscaya.

Pembaca Monitor telah melakukan pilihan yang jujur. Dan dengan kebegoannya – seperti diakui Arswendo setelah mendapat tekanan umat Islam yang luar biasa – ia telah berhasil menunjukkan bahwa kuasa politik lebih besar dari kuasa agama.

Di pihak lain, tahun 1980-1990-an, saat Monitor menyelenggarakan polling, umat Islam masih berada dalam katarsis dan euforia. Michael H Hart, fisikawan dan penulis Amerika, dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menyatakan bahwa Muhammad adalah tokoh nomor satu paling berhasil dalam sejarah dunia. Menurut Hart, Muhammad was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular levels.
Buku karya Hart yang diterjemahkan H Mahbub Djunaidi ini menjadi perbincangan ramai dan menimbulkan “kebanggaan” yang luar biasa di kalangan umat Islam. Toni Ardi, ideolog HMI, misalnya, berpidato selama tiga jam dengan pendengar yang tak bergeser dari tempat duduknya, hanya untuk mengapresiasi buku “The 100” di ceramah Ramadhan In Campus (Gelanggan Mahasiswa UGM) tahun 1980-an. Semua kagum. Umat Islam sangat bangga karena Sang Nabi menjadi the number one mengalahkan Karl Marx dan Adam Smith (padahal apa yang ditulis Hart adalah pendapat pribadi. Bukan survei opini).

Dari perspektif inilah, ketika Monitor menulis bahwa Muhammad hanya nomor 11 tokoh paling berpengaruh di Indonesia, umat Islam seakan tertampar. Keterpurukannya di rezim Suharto semakin dalam. Akibatnya, umat berontak. Melakukan perlawanan terhadap polling Monitor dengan demo berjilid-jilid. Dan simbolnya tertuju kepada Arswendo. Ia menjadi simbol orang yang merendahkan Islam. Istilah sekarang, ia penista agama — identik dengan kasus Ahok dalam Peristiwa Monas 212. Ia jadi kambing hitam atas “perebutan kekuasaan” yang seakan menjadi panasea bagi keterpurukan Islam.

Dari perspektif ini, kita memahami ketegangan antara Islam dan Negara akan terus terjadi. Persoalan besarnya adalah sebagian kalangan Islam menganggap bahwa agama tanpa negara adalah sia-sia. Dan sebaliknya. Sementara pihak sekuler menganggap bahwa agama adalah ranah privat. Sedangkan negara adalah ranah publik. Maka, suka atau tidak suka, keduanya harus dipisahkan. Sayangnya, sejarah manusia di abad 20-21, membuktikan bahwa pandangan sekuler mampu membuktikan hadirnya “negeri adil makmur” berdasarkan sekularisme. Sementara pihak lainnya, membuktikan sebaliknya. Negara-negara sekuler seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia, misalnya, selalu berada di urutan puncak dalam Index of Happiness PBB. Sebaliknya, negeri-negeri Islam, selalu berada di urutan buntut.

Sejarah memang tidak linier. Sejarwan Kuntowijoyo mengungkapkan, jika dulu Islam berkembang di Timur Tengah, maka pada saatnya, Islam berkembang di wilayah Pasific Basin (Jepang, Korea, dan Cina) serta wilayah Atlantik (Eropa dan Amerika). Hanya persyaratannya, tulis Kunto, Islam harus meninggalkan dogmatisme dan simbolisme – menuju rasionalisme dan humanisme. Hanya dengan berpikir rasionalis dan humanis, jelas Kunto, toleransi dan saling menghargai antarumat manusia akan berlangsung dengan baik untuk menggapai sain dan teknologi. Tanpa itu, Islam akan makin terpuruk!

Arswendo kini telah tiada. Ia memang gagal melakukan eksperimen toleransi melalui polling Monitor. Tapi kegagalannya, seakan memberikan warning kepada kita, bangsa Indonesia, itulah kondisi negeri kita saat itu. Saat di bawah rejim Soeharto yang menjadikan kekuasaan adalah segala-galanya.

Lalu, apakah bila kekuasaan menjadi tujuan utama kaum agamawan mendirikan negara, watak “power tends to corrupt”-nya manusia — seperti dititahkan Lord Acton — akan sirna? Muhamad Bin Salman, penguasa Negeri Islam Saudi Arabia yang mencincang tubuh Jamal Kashoggi di Istambul, menjawabnya: No. No. No. Sama seperti Abu Bakr Al-Baghdadi, penguasa ISIS yang nyaris tiap hari memenggal ribuan kepala manusia yang menentang perintahnya. Naudzublillah min dzalik!

Jika saat ini politik identitas keagamaan makin menguat, Arswendo di kuburannya niscaya akan makin terisak. Sedih. Kenapa? Karena ketika di penjara, Arswendo hanya berhasil “Menghitung Hari” – kini di rumah terakhirnya, ia merasakan “melebarnya intoleransi”. Sayang Mas Wendo, kau “pulang untuk selamanya” sebelum menulis buku “Pudarnya Toleransi di Negeriku.”

Arswendo memang gagal melakukan eksperimen toleransi. Tapi ia sukses mengingatkan bangsa ini akan fenomena meruyaknya intoleransi. Dan sekarang, warning itu terbukti.

Met Jalan Bro. Rest In Peace Mas Wendo.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA